Friday, March 18, 2011

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [2]


Oleh Yuda B. Tangkilisan

Beberapa koreksi kecil terhadap teks harus diberikan, karena terdapat kesalahan. Dalam petisi itu disebutkan bahwa besluit Residen Swaving bertahun 1876 padahal yang benar adalah tertanggal 25 Januari 1877 no. 1 La A.[8] Kemudian besluit tanggal 12 Juni 1868 no. 30 sebagai dasar kewibawaan para kepala sebenarnya yang dimaksudkan adalah besluit 12 Juni 1858 no. 30 (Staatsblad 1856 no. 69).[9]

Mengenai jumlah kepala distrik yang ikut menandatangani terdapat beberapa dugaan (karena sumber aslinya tidak ada). L. Adam dalam tulisannya Pemerintahan di Minahasa[10] menyebutkan bahwa jumlah kepala distrik yang mengirimkan petisi itu sebanyak 23 orang. Sedangkan kalau diteliti kembali dalam Regeerings Almanac, terutama tahun 1878 sebab tahun sebelumnya tidak menyebutkan tentang kepala distrik, bahwa jumlah kepala distrik sebanyak 25 sesuai dengan jumlah distriknya (Lihat Lampiran).

Selain dicoba dibandingkan dengan Politiek Verslag (yang tidak ditemukan) juga dicoba dengan Algeemen Verslag tahun tersebut. Algemeen Verslag tidak menyebut jumlah, hanya disebutkan mutasi dan pengangkatan kepala distrik dan bawahannya. Pembandingan terakhir dicoba dengan meneliti surat kabar yang terbit di Minahasa Tjahaja Sijang selama tahun 1876-1877. Selain koran itu tidak memuat sama sekali, juga tidak ada tanda-tanda bahwa jabatan kepala di suatu distrik kosong atau adanya kepala distrik meninggal dunia, yang mana dapat menuju pada kemungkinan jumlah 23, seperti disebutkan L. Adam.

2. Sekutu Atau Kaula
Dua hal pokok yang tidak dapat dimengerti oleh para kepala distrik tersebut. Kedua hal itu saling berhubungan satu sama lain. Dengan pernyataan bahwa tanah Minahasa menjaadi tanah milik pemerintah, maka menurut anggapan mereka bahwa kontrak-kontrak yang pernah dikukuhkan telah tidak berlaku lagi.

Padahal kontrak-kontrak tersebut justru yang mengatur hubungan antara Minahasa dan Belanda. Kontrak itu dibuat oleh nenek moyang mereka masing-masing. Sebagai komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan menghormati leluhur (walaupun di tengah gencarnya Kristenisasi), kontrak tersebut dianggap tetap berlaku dan mengikat. Dengan sendirinya jika terjadi perubahan atas hubungan-hubungan yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, harus sepengetahuan kedua belah pihak. Bagi kepala Minahasa pembatalan sepihak berarti penodaan terhadap kesetian.

Kini tentunya perlu dipertanyakan mengenai kontrak itu sendiri. Beberapa pertanyaan dapat diajukan padanya. Seperti apakah kontrak itu (terutama dimaksudkan adalah kontrak 1679) absah. Ini merupakan pertanyaan penting yang dijawab terlebih dahulu.

Sikap terhadap keabsahan kontrak tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang menganggap kontrak itu sah dan menempatkan kedua belah pihak penanda tangan  kontrak itu sebagai tuan dan kaula. Kontrak yang terdapat pada catatan harian perjalanan keliling dari Padtbrugge itu dianggap salinan yang syah dari salinya. Memang dokumen asli dari kontrak itu tidak ditemukan kembali. Kelompok itu antara Graafland, Swaving dan Molsbergen sendiri.

Kelompok lainnya menolak keabsahan kontrak catatan Padtbrugge itu. Menurut mereka, tidak mungkin hubungan yang terjalin itu sebagai hubungan kaula. Mereka yakin bahwa kontrak asli 1679 mengatur hubungan sekutu atau persahabatan. Salah satu argumentasi mereka yang penting adalah jika kontrak itu telah mengatur hubungan kaula, mengapa pada tahun 1699 kontrak itu diperbaharui dengan menyebutkan hubungan kaula. Tentunya status kaula pada kontrak 1699 menggantikan status sekutu pada Kontrak 1679 tidak diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Memang peranan juru bahasa perlu diteliti kembali. Kelompok ini antara lain Kesteren, Wijnmalen, dan tentunya orang Minahasa sendiri.[11]

Bert Supit juga mencoba menelusuri mengenai alam pikiran kepala-kepala Minahasa dalam menerima Belanda. Menurut pendapatnya, Kontrak 1879 hanya memuat dua hal pokok, yaitu (1) permintaan bantuan kepada Kompeni, yang diakui sebagai orang kuat dan berwibawa (wailan wangko) untuk menghadapi musuh dari luar, antara lain Bolaang, (2) janji setia kawan dan persahabatan yang abadi para ukung, yang karenanya akan membantu Kompeni memelihara benteng dan bangunan lain, bila Kompeni berjanji memenuhi hal tersebut diatas sesuai prinsip mapalus. Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian wailan wangko tidak berimplikasi memerintah, melainkan hanya merupakan suatu julukan saja.[12]

Gambaran yang ada dalam benak kepala-kepala distrik mengenai hubungan mereka dengan Belanda adalah sebagaimana layaknya sahabat. Paling tidak dalam ingatan mereka bahawa peristiwa-peristiwa yang mereka alami sebelumnya memperkuat hubungan tersebut. Seperti misalnya yang sangat jelas adalah pemberian tongkat, payung serta 9 salvo tembakan sebagai tanda penghormatan untuk mereka.         

Selanjutnya mengenai hubungan Minahasa dan Belanda disebut sebagai hubungan antara orang tua dan anak. Dimana Minahasa sebagai anak dan Belanda sebagai orang tua. Dalam adat istiadat Minahasa memang dikenal masalah adopsi dengan berbagai macam tujuan danlatar belakangnya. Namun jika ditelusuri dari sejarah datangnya Belanda di Minahasa dan pola adopsi di Minahasa akan terasa kurang klop. Belanda datang di Minahasa karena diminta oleh orang Minahasa sendiri.

L. Adam dalam bukunya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa menyebutnya suatu pola adopsi yang agak aneh namun sesuai dengan proses tersebut di atas.[13] Disebutkan bahwa terdapatnya gejala adopsi terbalik, dimana seseorang atau keluarga mengangkat seorang kepala distrik atau lainnya (bawahannya) sebagai bapak, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai anak. Adopsi semacam ini menguntungkan kedua belah pihak. Sang “anak” akan memperoleh perlindungan dan jaminan keterpihakan sang “bapak” dalam perselisihan-perselisihan, terutama yang menyangkut soal tanah. Sebaliknya para kepala biasanya membiarkan dirinya diadopsi dengan maksud kelak akan mendapat bagian dalam pewarisan sang “anak”.

Minahasa sebagai masyarakat yang tidak mengenal bentuk kerajaan namun sebagai masyarakat primitif tidak mengenal hubungan majikan dan hamba. Mereka yang hanya mengakui primus inter pares beranggapan bahwa jika ada kewajiban yang harus dipenuhi, kesemua itu berdasarkan pada hubungan timbal balik. Hubungan  yang ada adalah antara pelindung dan yang dilindungi. Sistem kekeluargaan yang sangat erat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan politik setiap kesatuan (wanua dan walak). Memang selain keluarga dikenal juga adanya budak-budak melalui perang dan penaklukkan-penaklukkan.

Alam pemikiran kepala distrik kebanyakan masih kuat dipengaruhi tradisi demikian.[14] Seyogyanya jika mereka mempertanyakan kembali hubungan tersebut. Dan wajar juga jika dalam surat tersebut digunakan kata-kata yang meninggikan kedudukan Belanda. Yang paling jelas adalah bahwa penetrasi pendidikan Belanda sedemikian mendalam di Minahasa, tetapi dalam pemikiran Belanda bahwa mereka tetaplah bawahan, bumiputra yang sebelumnya tidak berperadaban[15] yang harus senantiasa dibimbing dan perlu dibudayakan.[16]

Surat itu juga menyingkapkan akan usaha Belanda untuk “mengikat” para kepala Minahasa (paling tidak demikian menurut anggapan mereka) dengan pemberian gaji. Para kepala tersebut memaklumi bahwa jika mereka menerima gaji dari pemerintah maka resmilah Minahasa merupakan bagian dari Hindia Belanda. Selanjutnya surat itu menyatakan bahwa mereka menolak tawaran Belanda tersebut. Mereka memilih tetap berdiri di atas pundak rakyatnya (menurut istilah mereka diasuh rakyatnya). Keindependenan merupakan alasan yang kuat bagi status sekutu.

Kemudian surat itu bercerita mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Minahasa selama hampir 200 tahun sejak kontrak pertama ditandatangani. Motivasi Minahasa untuk selalu berdiri di pihak Belanda (sehingga terkadang Minahasa disebut berdiri di pihak Belanda, bahkan disebut sebagai propinsi ke-12 dari Belanda, karena begitu setianya) adalah berdasarkan rasa terima kasih danbalas budi, kembali sesuai dengan kontrak. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa Belanda memperoleh tanah Minahasa bukan melalui penaklukan melainkan semata persahabatan.

Pada bagian akhir isi surat mereka mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dua permintaan pokok itu adalah pertama memohon pembaharuan kontrak atau tetap dengan kontrak yang lama namun dengan beberapa persyaratan tambahan. Rupa-rupanya para kepala distrik tetap menganggap bahwa kontrak merupakan dasar keberadaan Belanda di Minahasa.

Mereka tetap konsisten dengan permintaan bahwa Minahasa bukan tanah pemerintah. Beberapa pengecualian yang diminta seperti larangan penjualan tanah kepada orang non-bumiputra dan ijin untuk penyewaan  tanah kepada orang lain.

Tanah merupakan sumber penghasilan dan penghidupan bagi masyarakat agraris. Tanah juga memiliki nilai tersendiri dalam tata kehidupan, menunjukkan kekayaan/prestise, juga melambangkan keterikatan masyarakat terhadap leluhurnya dimana tanah itu dibuka oleh leluhurnya (bandingkan dengan pola pembukaan tanah yang bebas).[17]

Tak mengherankan jika mereka berpendapat bahwa tanah tidak boleh dijual kepada orang lain di luar distriknya apalagi kepada orang “seberang”, tetapi kesempatan lain terbuka untuk mereka (orang asing) yaitu melalui bentuk penyewaan, terutama tanah-tanah yang tidak sanggup digarap. (Padahal salah satu alasan penerapan peraturan tanah itu adalah karena banyaknya tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya).[18]

Para kepala distrik dalam surat itu beberapa kali menyebut “rakyat kami”. Padahal seperti telah disebutkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap kedudukan mereka dimana mereka boleh dikatakan telah menjadi alat pemerintahan kolonial, dipihak lain artinya mereka telah tercabut dari akarnya sebagai kepala tradisional. Penjelasannya mungkin bisa didapat dalam alam pemikiran mereka bahwa selama mereka masih dihidupi oleh rakyatnya, tidak menerima gaji dari pemerintah maka mereka tetap sebagai volkshoofd.

Permohonan ditutup dengan pertaruhan kesetiaan mereka kepada Belanda dan himbauan kembali agar Belanda sendiri ingat pada kewajibannya. (Bersambung ke bagian 3)

No comments:

Post a Comment