Thursday, November 15, 2012

ETNIK MINAHASA: Perspektif Historis-Theologis-Antropologis [1]


ETNIK MINAHASA: Perspektif Historis-Theologis-Antropologis [1]

Oleh 
Roy Erickson Mamengko


Setiap masyarakat ingin mengetahui dengan pasti asal usulnya. Dalam hal ini bukan hanya ingin mengetahui sesuatu yang memang masuk diakal, melainkan ada sesuatu yang lebih dari itu. Manusia selalu sadar bahwa pengetahuan tentang asal-usulnya penting bagi kelanjutan hidup adat-istiadatnya[1]. Hal ini disebabkan karena, masa permulaan kebudayaan suatu komunitas masyarakat merupakan masa penentu yang sangat mendasar. Karena, pada saat itulah, bukan pada masa sesudahnya unsur-unsur serta dasar-dasar adat-istiadat mereka terbentuk. Kemudian, membuat komunitas itu menjadi apa yang kini ada sesuai dengan hakekat mereka. Etnis Minahasa pun tidak merupakan kekecualian. Karenanya, apabila kita ingin mengetahui lebih mendalam tentang wujud kebudayaan etnik Minahasa ini dalam hal ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, aktivitas dan tindakan terpola, serta berbagai hasil karya etnik Minahasa ini di dalam maupun di luar wilayahnya adalah sesuatu yang sangat wajar.

Ada banyak hal penting dan mendasar tentang etnik Minahasa yang coba diurai oleh para penulis artikel dalam blog ini. Mencakupi pertanyaan-pertanyaan antara lain: Bagaimana kehidupan tradisional etnik Minahasa masa lalu. Bagaimana terjadinya persentuhan antara agama suku mula-mula dengan agama kristen. Bagaimana dinamika hubungan antara etnik Minahasa dengan pihak kompeni. Bagaiman gambaran ringkas tentang proses integrasi etnik ini, khususnya pihak perempuan dengan etnis dari luar yang dibawa kompeni masuk ke tanah Minahasa seputar abad 15 sampai pertengahan abad 19. Termasuk asal usul nama “Minahasa” yang sekarang menjadi simbol wilayah dan kebudayaan suku bangsa Minahasa.

Asal usul nama “Minahasa” 
Diakui, bahwa sampai saat ini belum ditemukan sumber-sumber lain yang menjelaskan, siapa orang pertama yang menggunakan nama Minahasa, selain Residen J.D. Schierstein. Bukti-bukti historis menunjukan bahwa sampai sejauh ini, para penulis sejarah lokal yang mengkaitkan tulisan-tulisan mereka dengan nama Minahasa masih tetap merujuk pada laporan yang dibuat oleh bekas Residen Manado Schierstein tanggal 8 Oktober tahun 1789 untuk Alexander Cornabe yang kala itu menjabat sebagai Gubernur di Maluku. Dalam laporan Schierstein ini, untuk pertama kalinya ditemukan penggunaan kata “minhasa” yang kini digunakan sebagai simbol sebuah wilayah yang sekarang ditempati oleh suku bangsa “Minahasa”. Sampai sejauh ini, belum ditemukan ada penelitian komprehensif yang secara kusus membahas sumber dan makna penggunaan kata “minhasa” yang sebelumnya, digunakan J.D. Schierstein dalam laporannya tanggal 10 Oktober 1789 itu. Pemaknaan terhadap kata “minhasa” versi Schierstein, tampak berbeda dengan orang Minahasa yang muncul antara abad ke XIX dan XX. Kutipan berikut menunjukan perbedaannya:

“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk melaporkan dengan hormat kepada Paduka Tuan, bahwa “minhasa” atau musyawarah para ukung pada tanggal 1 bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik dan Tateli menurut adat-istiadat mereka dan penegasan atau pernyataan perdamaian itu akan dilakukan kemudian dengan sumpah” [2]

Bila diperhatikan dengan cermat isi penggunaan kata “minhasa” yang tertulis dalam laporan Schierstein tersebut sebenarnya menguraikan “proses musyawarah” yang diprakarsai Residen J.D. Schierstein untuk mendamaikan pertikaian yang selalu terjadi antar “ukung” dan “walak” dari subetnik: Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano, Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik. Terutama, permusuhan antara para ukung dan “walak dari kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang. Proses perdamaian ini ditegaskan lagi oleh Bert Supit seperti berikut ini:

“Perdamaian yang dicapai pada tanggal 9 Desember 1789, pada akhir bulan itu juga disahkan dengan cara adat; suatu prestasi yang gemilang dari Residen J.D. Schierstein. Penyelesaian dilakukannya melalui suatu musyawarah antar-ukungseluruh Minahasa yang diundang untuk menyelenggarakan suatu musyawarah besar. Dalam Musyawarah itu ia mengajak mereka untuk bersama dengan Kompeni, mendamaikan bentrokan antar-walak . Setelah usul ajakannya disetujui, dimintanya agar tiap-tiap ukung mengerahkan kekuatan dan bersama-sama dengan kompeni, memaksa walak-walak lain mengadakan perdamaian” (Supit, 1986:141).

Dengan demikian menurut tafsiran penulis, bahwa pada awalnya penggunaan kata “minhasa ” oleh Schierstein dalam laporan yang dia buat untuk atasannya itu, dimaksudkannya sebagai metode untuk menyelesaian konflik antar ukung dan walak. Bert Supit (1988:141) membenarkan bahwa musyawarah yang disebutnya “Minhasa” atau Landraad atau Vergadering der dorpshoofden (Musyawarah para ukung) untuk pertama kalinya digunakan secara resmi dalam arti musyawarah para ukung. Sebenarnya perkataan itu berasal dari kata “minaesa” yang berarti menjadi satu, yang sejak masa lampau telah hidup dalam masyarakat Minahasa. Setiap kali masyarakat menghadapi suatu persoalan bersama, mereka mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar bersama. Hasil dari musyawarah itu hampir selalu merupakan tindakan bersama berdasarkan prinsipminaesa. Tetapi segera setelah peristiwa yang dihadapi bersama itu selesai, prinsip minaesaditinggalkan oleh para walak bersangkutan, mereka kembali hidup sendiri-sendiri.

Pandangan Devid E.F. Heley
Devid E.F. Heley tampak meragukan penggunaan kata ”minahasa” bermakna sebagai ”persatuan” dalam artiannya yang sejati. Dalam tulisannya “Nationalism and Regionalism in a Colonial Contex, Minahasa in the Dutch East Indies[3] diungkapkannya bahwa Minahasa baru muncul sebagai suatu kesatuan teritorial tanggal 10 Januari 1679. Pada waktu itu kedudukan para Walak di pedalaman sangat kuat. Juga kekuasaan politik mereka lebih mencolok daripada raja-raja yang menjadi tetangganya. Karena itu, demi kepentingan Belanda, pemerintah Belanda telah menyatukan kelompok-kelompok etnis di penggunungan yang oleh residen J.D. Schierstein kata ”minhasa” diungkapkan sebagai bermakna ”mendamaikan”. Tetapi dari pihak orang pegunungan, nama Minahasa sesungguhnya merupakan exonerating.

Oleh sebab itu, Henley melihat bahwa kesatuan Minahasa sebagai nama territorial yang baru, sebenarnya lebih mengacu kepada kesatuan territorial dari pada kesatuan penduduknya. Orang Minahasa nanti mulai menganggap bahwa mereka adalah suatu kesatuan setelah pada abad ke-19, ketika penduduk dari kawasan ini mengalami transformasi sosial yang dramatis, sebagai akibat dari panetrasi pemerintahan Belanda yang intensif terhadap pembudayaan tanaman kopi secara paksa, aktivitas dari misi Kristen, dan pendidikan ala Barat. Pada waktu itulah Minahasa dapat diartikan sebagai nama untuk wilayah itu.

Sementara itu masalah “persatuan” jelas terlihat dalam kesamaan mereka sebagai suatu kelompok yang merasakan pengalaman dibawah pemerintahan kolonial dan dalam kebersamaan institusi-institusi. Para penginjil juga memperkenalkan suatu kesatuan sosial yang nyata dan sangat ideal yang berasosiasi dengan pemikiran yang menuju kepada persaudaraan secara Kristiani.

Bentuk Masyarakat Minahasa
Bila menengok kebelakang, banyak informasi menunjukan bahwa bentuk masyarakat Minahasa pada zaman lampau sebenarnya berbentuk “tribe”. George Foster[4]menyebutnya sebagai masyarakat yang menjalankan “tribal system” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan mereka bersandar pada ladang pertanian. Sedangkan unit politik mereka yang tertinggi adalah “Walak”[5]. Unsur-unsur yang menonjol dalam walak ini ialah, bahwa semua orang yang hidup dalam suatu walak, mempunyai pertautan darah satu sama lain. Sedangkan di dalam seluruh Walak, hidup suatu keyakinan bahwa anggota Walak manapun juga, mempunyai garis keturunan yang sama.

Pada zaman itu, di dalam lingkungan kehidupan walak terdapat seorang pemimpin yang diangkat,yang mereka sebut sebagai kepala Walak. Sebagai seorang kepala walak ia masih dapat diangkat memangku jabatan sebagai “walian” atau pendeta relegi pribumi. Bertambahnya fungsi seorang kepala walak karena tugas rangkap: sebagai walak dan sebagai walian,maka kekuasaan dan tanggung jawabnya menjadi lebih mutlak. Tanggung jawab seorang walak yang merangkap jabatan sebagai walian mengharuskan dia dapat menjelaskan dengan baik arah gejala-gejala alam yang muncul, apalagi kalau tanda-tanda alam itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Ia juga memikul tanggung jawab untuk selalu memberi jalan keluar bila ada masalah yang timbul di wilayahnya. Disamping hal-hal tersebut, dia diharuskan oleh komunitasnya untuk selalu mawas diri, dan sadar terhadap batas-batas wewenang yang diberikan oleh kelompok “walak” kepadanya.

Begitu pula dengan unsur keter (power). Unsur keter merupakan persyaratan mutlak yang perlu dimiliki bila seseorang dalam komunitas walak yang sederajat ingin menjadi pemimpin. Di dalam kehidupan sebuah komunitas walak, seseorang yang mempunyai“keter” atau kekuatan selalu diprioritaskan untuk diangkat menjadi pemimpin. Jadi, unsur“keter-lah” yang memegang peran penting bagi seseorang yang ingin menjadi yang terbaik dari antara warga sederajatnya, sekaligus menjadikannya sebagai “primus inter pares” di dalam sebuah walak.

Dalam menjalankan peran (role) sebagai pemimpin, kepala walak tidak diperbolehkan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang, terutama dalam soal pembagian tanah. Karena, ia dapat dikenai sangsi dari “opo” atau semacam sangsi Ilahi, berupa pencabutan secara transenden keter-nya sampai ia menjadi “weles” atau kehilangan kekuatan sama sekali. Bila seorang pemimpin terkena sangsi Ilahi, kemudian menjadi “weles”, maka akibatnya sangat berat. Ia akan dikucilkan dari masyarakat. Walaupun ia masih hidup, ia merasa bagaikan telah mati[6]. Dalam istilah moderen ia mengalami pembunuhan karakter (character assassination).

Dalam tahun 1870-an, pengangkatan seorang walak di Minahasa dikomentari oleh J.G.F. Riedel seperti berikut: “ Ofschoon onder de alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschilling of zoo iemand de panangaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea[7] “Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ngaran untuk menjadi kepala (abakai oem banoea), tetapi cara mereka memilih tidaklah serampangan”

Pengangkatan seseorang menjadi pemimpin Walak syaratnya tidak mudah. Sebab, seorang pemimpin yang telah diangkat oleh para ukung atau walak menjadi pemimpin mereka, dibatasi dengan larangan menggunakan kekuasaan sewenang-wenang. Pemimpin yang melakukan pelanggaran yang dapat dikategorikan berat, hukuman yang akan ditimpahkan kepadanya bukan sekedar pembunuhan karakter (character assassination)tetapi lebih daripada itu. Dalam hal menjatuhkan hukuman bagi seseorang yang melakukan pelanggaran berat dijelaskan oleh Bert Supit seperti berikut:

“Pengadilan adalah sarana, dimana para ukung mendemonstrasikan kekuasaan mereka berdasarkan ketentuan-ketentuan adat; suatu sarana untuk menyatakan dan memenuhi rasa keadilan, baik dari para ukung maupun rakyat mereka. Misalnya, pembunuh harus dihukum mati bila yang dibunuh ternyata tidak bersalah. Bila si pembunuh tidak dijumpai, salah seorang anggota keluarga atau budaknya dapat dihukum mati. Terutama pelaksanaan hukuman mati dengan cara mengikat terhukum dalam perahu dan mencincangnya sampai halus [hukuman cincang sampai halus .. to’e-tok’ken..] (Supit, 1986:119-120)

Cara menjatuhkan hukuman mencincang tubuh seseorang sampai halus yang sering dilakukan oleh para ukung dan walak di Minahasa. Seputaran tahun 1699, hukuman cincang ini berusaha diredam oleh Residen Manado Kapten Paulus de Brieving. Hal ini dapat dilihat dalam hasil musyawarah yang dilaksanakan di dalam Loji Kompeni di Fort Amsterdam Manado, antara pihak Belanda dan para ukung dan walak yang berasal dari beberapa wilayah yang diwakili oleh tiga orang Hoofd Hukum Mayor (Kepala Hukum Mayor): Supit dari Tombariri, Lonto dari Sarongsong dan Paat dari wilayah Tomohon (Molsbergen, 1928: 89). Hasil musyawarah ini kemudian dicantumkan dalam Perjanjian Persekutuan (Bond Genootschap) tanggal 10 September 1699. Dimana, dalam pasal 3 perjanjiaan itu isinya menyatakan seperti berikut:

“…ketiga ukung tu’a kepala dan semua ukung atas nama diri sendiri dan anak temurunnya, untuk selama-lamanya dengan sukarela membuang dan menghentikan kebiasaan men-tok-tok atau mencincang orang-orang yang tidak bersalah, baik budak maupun rakyat biasa, sebagai pengganti seseorang yang benar-benar telah membunuh atau seseorang penjahat besar, dan menyatakan mempunyai suatu perasaan keji dan jijik mengenai hal ini, dan karena itu merekapun berjanji dan menyetujui, bahwa mereka dan anak keturunan mereka akan mengusahakan agar tidak seorang pun dalam wilayah mereka, dengan alasan apapun, akan dihukum mati atau dicincang, tetapi mereka sepakat akan menyerahkan setiap pembunuh atau penjahat yang akan dihukum mati ke dalam tangan Kompeni, yang akan menentukan hukuman sesuai beratnya kejahatan yang dituduhkan, dengan ketentuan bahwa, baik sekarang maupun sesudahnya, barang siapa mengabaikan atau menentang ketentuan-ketentuan ini, akan mendapat hukuman dari Kompeni, sama seperti mereka yang melanggar persahabatan yang mereka telah setujui[8]

Mitos Batu Pinabetengan dan simbol perempuan arif .
Banyak pemerhati sejarah dan kebudayaan mengakui, bahwa Batu Pinabetengan adalah bukti dimana daerah Minahasa Tengahlah yang menjadi pusat kebudayaan nenek moyang etnik Minahasa masa lalu.

Penulis melihat bahwa akar cerita “Toar dan Lumimuut”, sangat erat hubungannya dengan cerita tentang “Batu Pinabetengan” atau “Batu Pembagian” wilayah untuk para subetnik. Setiap suku bangsa atau sub-suku yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, dan Bantik, selalu mengakui bahwa ikrar yang dilakukan di Batu Pinabetengan sebagai petunjuk bahwa mereka adalah satu keturunan dari Toar dan Lumimuut. Akibatnya, versi mitos tentang Toar dan Lumimuut menjadi sangat banyak dan bervariasi, mencapai lebih dari 90 versi. Tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita itu, yakni adanya tanah, air dan batu.

Salah satu versi yang menghubungkan Lumimuut dengan alam[9] menjelaskan: bahwa pembentukan daratan dimungkinkan karena bantuan kosmik lain. Sebelum daratan diciptakan, keadaan alam masih sangat gelap, namun terdapat angin ribut, yang bersumber dari gelombang pasang laut. Gelombang dari laut kemudian menghantam gumpalan-gumpalan tanah, keadaannya amat menyeramkan. Tiba-tiba munculah matahari, menyinari gumpalan-gumpalan tanah secara terus menerus. Gelombang-gelombang di laut menjadi berbusah atau “lewa” (lewa dalam bahasa Tontemboan berarti buih). Busah-busah itu kemudian berubah bentuk menyerupai batu-batu gamping yang telah terdampar ke tepian pantai. Diantara batu-batu putih yang menyerupai batu gamping itu ada yang berbentuk telur, diantaranya ada sebuah yang menetas. Dari situ keluar seorang bayi yang mungil. Bayi mungil itu dibersihkan oleh air laut. Kemudian ia merangkak ke darat. Kelanjutan hidup si bayi sampai tumbuh menjadi seorang gadis jelita, dianggap disebabkan oleh karena bantuan alam. Dia telah disegarkan oleh embun pagi hari dan madu dari bunga-bunga. Gadis itu setelah dewasa di kenal sebagai Lumimuut. Kemudian dihamili oleh angin Barat, dan munculah Toar, dan seterusnya…” Carita ini dapat digolongkan seperti yang dicontohkan oleh C. Levie Strauss[10] yang memilah mitos dalam matriks simbol-simbol.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa perempuan adalah simbol pertama dalam relegi pribumi Minahasa. Dari 90 versi cerita rakyat yang ada menyatakan, bahwa Lumimuut adalah ibu dari Toar. Cerita-cerita ini sebenarnya ingin menunjukkan kearifan peran dari perempuan Lumimuut. Kedua, ingin menunjukan, bahwa hubungan-hubungan kekerabatan hanya terjadi dalam lingkungan sendiri, tidak ada pertukaran dengan sub-sub etnik lain yang bersifat hubungan timbal balik (reciprocal), bila merujuk pada cerita tentang mitos Raja Empat dari A. Vander Leeden dan EKM Masinambouw, akan tampak bahwa cerita-cerita tentang anak kawin dengan ibu, bukanlah merupakan suatu hal yang aneh dalam mitos, tetapi sudah merupakan ciri universal. Contoh hal, Oedipus membunuh raksasa yang bertindak sebagai penghalang niatnya, kemudian membunuh ayahnya sendiri Labdacos, supaya ia dapat mengawini Ibunya Jacosta[11]

Tipe kekerabatan yang digambarkan oleh C.L.Straus (1969)[12] sama dengan tipe kekerabatan yang diterangkan oleh W.Ludstrom-Burghoorn (1981)[13]. Sedangkan menurut A.C. Kruyt (1925)[14] hampir semua mitos di kepulauan Pasifik, termasuk yang ada di Minahasa sampai ke Tanah Toraja menggambarkan manusia pertama adalah perempuan. Jadi tidaklah mengherankan kalau di Minahasa perempuan dilambangkan sebagai sumber kearifan dan kebijaksanaan.

Lumimuut kemudian dituturkan mendapatkan lahan untuk hidup, di sebuah tempat yang bergunung-gunung yang dinamakan “Wulurmahatus” atau daerah pegunungan yang berpuncak seratus. Mula-mula daerah itu tandus. Lumimuut kemudian memanjatkan doa secara terus-menerus kepada “Kasuruan Wangko”. Maka pada suatu ketika, Lumimuut melihat seekor burung terbang diatasnya, menggenggam ranting di sebelah kiri dan sebongkah tanah di sebelah kanan.

Ranting dan bongkahan tanah itu kemudian diletakan oleh burung itu di tempat dimana Lumimuut sedang menenangkan dirinya. Maka dalam sekejab tempat itu menghutan ditumbuhi berbagai jenis pohon dan buah-buahan. Tanah yang dijadikan Lumimuut sebagai tempat peristirahatannya menjadi sangat subur, dan menghasilkan lebih dari seribu jenis “buah-buahan”[15] yang dapat dimakan supaya keturunan Lumimuut tidak akan pernah mengalami kelaparan. “Kasuruan Wangko” juga melengkapi Lumimuut dengan beberapa “Opo” untuk mengolah tanah, seperti antara lain “Opo Mandei” yang diberikan untuk menjaga ladang Lumimuut, “se Opo ni mema in tana”, pengelolah tanah yang selamanya akan bekerja di ladang.

Pada zaman dahulu jelas terlihat bahwa Lumimuut di puja di daerah Minahasa khususnya di Minahasa Tengah sebagai “dewi tanah”. Dialah yang dianggap telah mengolah dan mengurus tanah dan karena itu pula ia dijadikan simbol pemberi makan bagi keturunannya. Kekuatannya juga dianggap melampaui jauh di atas hal-hal yang ada dalam pengalaman (transcendent), dan menurun pada keturunannya yang perempuan. [Bersambung ke bagian 2]

Tuesday, July 26, 2011

KEBUDAYAAN TOU MINAHASA ABAD 21: Memprihatinkan!

Oleh Roy Erikscon Mamengko

Dinamika kebudayaan Tou Minahasa kontemporer dirasakan tidak hanya mengalami stagnasi, tapi juga mengalami degradasi. Terancamnya sistem tradisi, memudarnya bahasa lokal, tidak tumbuhnya kreativitas ilmu pengetahuan dan teknologi secara prestisius, hilangnya ruang-ruang kebudayaan, sepinya penyelenggaraan festival budaya, adalah bagian-bagian dari gejala degradasi kebudayaan Tou Minahasa kekinian.

Mungkinkah gejala ini, linier dengan apa yang diungkapkan oleh Filsuf Bertrand Russel, bahwa situasi stagnasi kebudayaan adalah buah dari kondisi di mana kebudayaan tidak berdaya? Manusia-manusia yang menjadi bagian dari sistem kebudayaan itu, tidak ingin lagi mengambil bagian dalam gerak kebudayaannya sendiri. Karena ini, Tou Minahasa tidak dapat lagi menciptakan prestasi-prestasi kebudayaannya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian dan kesusasteraan yang besar dan menonjol, sehingga yang ada, hanyalah kemerosotan tiga “K”; kreatifitas, kuantitas, dan kualitas?

Sekarang ini, secara kasat mata, tampak ada beberapa ruang hidup dari Tou Minahasa yang mengalami kemajuan signifikan. Misalkan Kota Menado yang sebelumnya adalah bagian utuh dari tanah malesung [minahasa], kini telah menjadi ikon Provinsi Sulawesi Utara. Wilayah ini, telah tumbuh menjadi kota majemuk karena telah tersedianya berbagai sarana dan infrastruktur yang memadai sebagai penarik dan penanda perubahan dan kemajuannya.

Tetapi, apakah konsep kemajuan wilayah itu cukup dinilai dari perkembangan “produk fisik” kebudayaannya? Tentu saja tidak cukup. Inilah sebabnya, mengapa Tou Minahasa kontemporer, dari amatan para cerdik cendekia, perlu dirangsang untuk merancang bangun konsep dan strategi kebudayaan yang baru, sebagai jawaban untuk mengubah kebudayaannya, minimal untuk 50 tahun ke depan. Tujuan untuk merancang bangun konsep kebudayaan baru, dimaksudkan, supaya Tou  Minahasa sekarang dapat keluar dari situasi stagnasi kebudayaan yang tidak hanya terkait dengan arus mondial, tetapi yang utama, untuk menghindarkan diri dari praktek kebudayaan kolonialisme internal gaya baru, yang diterapkan negara untuk mengendalikan dan menyeragamkan kebudayaan suku-suku bangsa supaya menasional.

Reorientasi kebudayaan
Reorientasi kebudayaan Tou Minahasa kontemporer dari “ekonomi-birokratis” ke “etos-mandiri” saat ini mutlak harus dilakukan. Mengapa,? Karena, dewasa ini persoalan kebudayaan oleh sebagian besar Tou Minahasa, tampak hanya dilihat sebagai persoalan pragmatisme ekonomi saja. Sehingga, unsur-unsur yang bertalian dengan “capaian kebudayaan”, kemudian hanya diukur dari kemajuan ekonomi semata. Kendati, capaian kebudayaan sarat dengan nilai dan marka sejarah. Karenanya, marka historis sebagaimana yang diletakkan oleh para peletak kebudayaan moderen di Minahasa seperti antara lain; Johann Friedrich Riedel dan Johann Gotlieb Schwarz seputar tahun 1830-1860 di bidang pendidikan, pertanian, kesehatan dan mimbar, tidak kemudian ditaksasi capaian nilai pada jamanya rendah ketimbang capaian pembangunan kekinian seperti jembatan megawati,  Mega Mall, jalan Bolevard, Lingkar Menado, dan kemegahan patung Jesus di kompleks perumahan Citra Land?

Kita semua perlu memandang kebudayaan sebagai sebuah konstruksi etos, dimana di dalamnya tercakup sistem simbol sosial dan kemanusiaan. Sebagimana kita menghargai bendera negara, semestinya kita juga memberi nilai lebih terhadap produk-produk ilmu pengetahuan, teknologi, seni sastra, musik, tarian yang dilahirkan dari struktur kebudayaan Tou Minahasa sendiri. Memberi penghargaan yang tinggi terhadap sistem, simbol sosial dan kemanusiaan, berarti juga menghargai posisi kreator yang menghasilkannya.

Beranjak dari pemikiran ini, hasil-hasil kebudayaan Tou Minahasa akan tersusun menjadi warisan sejarah yang tak ternilai harganya pada masa yang akan datang. Harga sebuah lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci  tidak dapat dinilai hanya dengan materi, karena capaian nilai yang terkandung dalamnya tak dapat lagi ditaksasi oleh bangsa Italia maupun Prancis kontemporer, di mana, Leonardo da Vinci menetap hingga akhir hayatnya. Karya-karya Williams Shakespeare sebagaimana kita ketahui, telah menjadi simbol capaian kebudayaan besar di bidang kemanusiaan bangsa Inggris. Sama dengan Tarian Maengket, Cakalele, Maramba dan  karya pikir Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Indonesia in den Pacific.

Epos sumekolah Corneles Wohon, Adrianus Angkouw, Silvanus Item, Albertus Zacharias Roentoerambi Wenas, Ds. W.J.Rumambi, Maria Walanda Maramis, ke-Waranei-an G.S.S.J. Ratu Langie dan A.A. Maramis, adalah capaian nilai kultural yang tidak dapat diukur nilainya hanya dengan sebuah monumen. Etos kebudayaan adalah pranata penting yang dapat menunjukkan ciri kemanusiaan. Pada aspek inilah, Tou Minahasa kontemporer harusnya “mereorientasi” dan “mengkonstruksi” kembali kebudayaannya. Kebudayaan yang dapat menanamkan karakter kemanusiaan yang spesifik, yang dapat memediasi dimensi kehidupan sosial komunitasnya sendiri. Yakni, karakter spesifik dalam alam berpikir, prilaku bertindak, memimpin, berkesenian dan pelahiran ilmu pengetahuan dan teknologi. Karakter-karakter inilah yang “kelak” diprediksikan dapat menjadi warisan kultural komunitas Tou Minahasa pada masa yang akan datang.

Sekarang ini, ruang formal transformasi kebudayaan (sekolah dan pendidikan) mengalami fase postkolonial di tangan pemerintah. Degradasi mutu melalui sistem birokrasi menumpulkan aktivitas kebudayaan yang kreatif. Situasi miris seperti ini hanyalah salah satu contoh konkret bahaya birokratisasi “kebudayaan”. Karenanya, kemandirian membangun peradabann Tou Minahasa ke depan menjadi hal yang sangat esensial untuk dikerjakan dari sekarang oleh  “tou Minahasa” sendiri.

Tantangan besar Tou Minahasa
Dari sebuah sistem kebudayaan yang baik, Tou Minahasa dapat mengkulturisasi kelebihan-kelebihannya yang spesifik. Memeroduksi etos kemanusiaannya yang otentik. Seperti antara lain; dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang orisinal, kesenian dan sastra yang unik, pemikiran-pemikiran intelektual yang bermakna, hingga ke perilaku diri yang khas. Dengan demikian, stagnasi kebudayaan yang membuat Tou Minahasa kehilangan kemampuan kulturalnya untuk mengabstraksikan nilai-nilai etos kemanusiaanya yang otentik dapat dihindari. Tegasnya, manusia yang tanpa etos adalah manusia yang tidak mempunyai sistem nilai dalam meresponsi dan menanggapi realitasnya. Efeknya, dia akan terseret ke dalam pusaran arus besar (mainstream) sistem kebudayaan nasional dan mondial. Pada akhirnya, dia kehilang karakter diri, kaburnya identitas, dan terhentinya denyut jantung sejarah kebudayaannya.

Hanya dalam situasi kebudayaan yang berkembang, komunitas Tou Minahasa dapat tumbuh dengan “pandangan dunianya” yang berkarakter khas. Dengan demikian yang menjadi tantangan terbesar Tou Minahasa sepanjang abad 21 ini adalah; bagaimana menggeliatkan kebudayaannya dari situasi stagnasi dan gradasi kebudayaan supaya bangkit? Bagaimana komunitas Tou Minahasa dapat bertahan dari gulungan gelombang besar kebudayaan nasional dan mondial supaya tidak kehilangan warisan kebudayaannya, sehingga dia dapat mewariskan kebudayaan yang orisinal Tou Minahasa kepada generasinya yang akan datang? Kesalahan “kita” dalam memandang kebudayaan, bukan tidak mungkin akan memelahirkan tragedi besar, dimana pada putaran lanjut, terkuburnya Tou Minahasa dalam sejarah peradaban lokal, nasional dan mondial.

Capaian kebudayaan
Proyeksi yang harusnya diukur oleh Tou Minahasa dalam aspek kebudayaannya, bukanlah pada konstruksi teori kebudayaan nasional dan mondial. Konstruksi peradaban kekinian telah mentradisi diukur dari aspek-aspek umum dan kompleksitas perkembangan dunia materi di bidang tekonologi dan prasarana fisik. Situasi inilah yang kemudian menjebak dan melilit “Tou Minahasa”, sehingga, pada akhirnya hanya memandang capaian kebudayaannya pada aspek fisik semata. Pada akhirnya, gagal mengkonstruksi struktur kebudayaan yang relevan dengan kondisi kebutuhan kebudayaannya yang otentik di tingkat lokal, nasional bahkan mondial.

Konsep kebudayaan nasional kontemporer cenderung memandang kebudayaan itu sebagai keberadaban. Sementara peradaban senantiasa dihubungkannya dengan modernisme. Inilah sebabnya, komunitas yang beradab selalu saja diasumsikan sebagai komunitas yang maju secara modern. Akhirnya, capaian kebudayaan mengabaikan pengukuran terhadap konsep keadatan dan keistiadatan. Kendati, konstruksi realitas kebudayaan “kita” senantiasa mengacu pada adat-istiadat itu.

Dalam peradaban modern, stigma adat dan keistiadatan dianggap klasik bahkan primitif sehingga cenderung dijauhi oleh generasi muda karena dinilai kontra-moderen. Sejauh mana adat-istiadat dapat menjadi kekuatan kemanusiaan Tou Minahasa? adalah tantangan kebudayaannya yang sesungguhnya.

Penciptaan ruang kebudayaan yang sehat dan mandiri merupakan unsur yang sangat mendasar bagi masa depan peradabannya. Maka tak ada jalan lain, selain Tou Minahasa harus bangkit  bersama, mereorientasi visi kebudayaannya, dan merekayasanya untuk kesinambungan peradabannya pada abad mendatang. Jika ini diabaikan, diprediksi, abad 21 adalah abad akhir dari identitas kebudayaan Tou Minahasa ini. Selanjutnya, kebudayaan komunitas ini, mungkin hanya akan didapati dalam buku-buku sejarah. Memprihatinkan?

Medio Juli 2011.
The Chinese University of Hongkong, Shatin, HKng
  
Roy Erikson Mamengko

Wednesday, June 1, 2011

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [4]

YUDA B. TANGKILISAN

Penutup
Petisi 31 Maret 1877 ternyata tidak hanya sekedar wahana penyampaian protes saja. Isi petisi tersebut menyingkapkan proses perubahan yang dialami oleh rakyat Minahasa. Petisi itu dapat digolongkan sebagai dokumen kunci dalam sejarah Minahasa. Dan juga ia dapat disebut sebagai pancang historis. Pancang yang menunjukkan akan kesadaran orang Minahasa terhadap keadaannya yang sebenarnya.

Proses perubahan politik yang berlangsung lebih kurang sejak dekade kedua abad 19 didasarkan pada anggapan bahwa Minahasa adalah bagian dari wilayah Hindia Belanda. Pada pihak lain, pemimpin Minahasa belum menyadari akan adanya perubahan status. Mereka masih beranggapan bahwa status wilayah mereka adalah sekutu daripada Belanada. Baru setelah setengah abad mereka menyadari akan adanya “perubahan”.

Picu yang bergema keras, yang menayadari para pemimpin Minahasa adalah Peraturan Pemerintah Mengenai Tanah Milik Negara (Domein Verklaring) tahun 1877 dan terutama besluit tanggal 25 Januari 1877. Latar belakang keluarnya peraturan agraria itu, adalah sebagai salah satu akibat desakan modal swasta yang mulai terasa sejak tahun 1870. Untuk tertibnya lalu lintas modal swasta itu, dikeluarkanlah serangkaian kebijaksanan terutama dibidang pemerintahan dan agraria.

Perubahan yang terjadi biasanya ditanggapi orang Minahasa secara akomodatif, namun kali ini tanggapan yang diberikan agak berbeda, khususnya oleh para kepala walak (distrik). Reaksi pertama mereka tentunya dapat dipahami karena kebijaksanaan itu langsung menyangkut kepentingan mereka. Dalam menanggapi perubahan itu, mereka tidak memilih cara kekerasan. Apakah pemilihan cara protes melalui petisi tersebut merupakan petunjuk akan adanya kesadaran dan kedewasaan politik dari para pemimpin Minahasa, sebagai akibat proses pembaratan yang intensif selama lebih setengah abad.[22] Namun secara historis, kedudukan para pemimpin Minahasa pada abad 19 memperlihatkan gejala ketergantungan, baik secara politik maupun secara ekonomis kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu ditandai dengan berubahnya status mereka dari kepala walak menjadi kepala distrik.

Para pemimpin Minahasa tercabut dari kedudukan tradisionalnya dan menerima tawaran menempati kedudukan dalam lapisan ciptaan Belanda. Dan protes mereka tercetus sesuai dengan aturan-aturan baru itu.

Paling tidak dengan adanya petisi itu, anggapan akan loyalitas yang berkepanjangan Minahasa terhadap Belanda perlu ditinjau kembali dan ditempatkan pada konteks yang jelas.[23]

Petisi kepada Gubernur Jenderal van Landsbergen di Batavia merupakan reaksi atas peraturan tanah negara ordonansi 1875 (Staatsblad 1875 no. 199a), yang diatur dengan besluit 25 Januari 1877. Sedangkan reaksi terhadap domein verklaring 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) tercetus dalam petisi kepada Parlemen Negeri Belanada (Tweede Kamer/ Majelis Rendah).

Rupa-rupanya kedua petisi itu tidak menghasilkan keputusan pengganti sebagai pemenuhan permintaan petisi itu. Petisi kepada Gubernur Jenderal dijawab dengan tetap berlakunya peraturan yang ada. Sedangkan petisi kepada Parlemen bukanlah suatu alamat yang tepat.

Memang secara langsung, petisi itu tidak menimbulkan perubahan peraturan. Namun petisi itu yang pertama kali mempersoalkan kembali masalah kontrak-kontrak nenek moyang Minahasa dengan Belanda. Jelasnya issue sekutu atau kaula pertama kali dicetuskan oleh petisi tersebut. Untuk selanjutnya, issue sekutu atau kaula itu menjadi senjata protes pada setiap keberatan yang timbul terhadap kebijaksanaan kolonial. Khususnya, ia digunakan terhadap politik agraria Hindia Belanda di Minahasa. (Selesai)

CATATAN KAKI
[1] Lihat Rogering
[2] Lihat, “Toestanden in de Minahassa door Men Ooggetuigs” IG 2 (1880) 1, hal 594.
[3] Pada kesempatan lain Swaving justru menilai usul itu diterima: “Dit is onjuist, het is waar, dat een paar hoofden pp de vergadering van 2 September 1876 verklaarden geen tractement te willen ontvangen, doch op de vergadering van den volgenden dag kregen die hoofden door hunne ambtgenooten deswege een openlijk, een gevoelig dementie. Het proces-verbaal daarvan is in het Regeering-archief.” (A.H. Swaving. “De varhouding van de bevolking der Minahasa (afdeeling der residentie Menado) tot het gouvernement van Nederlandsch-Indie”.
[4] Ordonansi tersebut mengatur pemilikan tanah untuk luar Jawa. Sedangkan untuk Jawa dan Madura tercantum dalam Staatsblad 1970 no. 118. Peraturan itu pertama kali memperkenalkan prinsip legal bahwa seluruh tanah yang tidak berada dalam pemilikan pribadi merupakan milik negara (domein van den Staat). Definisi tanah negara dalam hal ini meliputi tanah yang dikuasai penduduk, dan selanjutnya penting untuk membedakan tanah bebas. Tanah bebas dimaksudkan adalah tanah negara yang bebas dari hak-hak penduduk. Di bawah pengaturan itu, terbuka kesempatan untuk menyewa tanah oleh pemerintah kepada pihak-pihak swasta yang terutama non-bumiputra. Penyewaan itu dapat dilakukan oleh individu atau suatu badan yang terdaftar. Peraturan itu juga memuat pembatasan luas tanah yang dapat disewa dan jangka waktu penyewaan. Kemudian hak pengelolaan itu dikenal dengan sebutan hak Erfpacht. Lihat L. Adam. Op. Cit, 1975 hal. 36-38. Mengenai beslit 25 Januari 1877 disebut dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, Menado bundel no. 53, ANRI. Lihat juga Swaving. Loc.Cit. hal.28.
 [5] “Bij mijn besluit dato 25 Januari 1877 no. 1 L a A verlaarde ik te weigeren het inschrijven in de registers van die gronden, die aan niet-inlanders waren verkocht”. Swaving ibid.
[6] Seperti juga beslit 25 Januari 1877 tersebut, arsip tentang jalannya, tempat, waktu pertemuan tersebut tidak dapat ditemukan. Index Menado 1877 ANRI menyebutkan suatu Agenda Juni j 19, 12389 tentang telegram Residen Menado yang menyangkut pertemuan tersebut, tetapi ketika dicari tidak ditemukan.
[7] Petisi tersebut diterjemahkan dari yang dikutip oleh van Kesteren. Loc.cit. hal. 463-466, selain itu petisi itu terdapat pula dalam Java Bode, 7 Februari 1878. Antara kedua sumber ini tidak terdapat perbedaan yang dasar, kecuali mengenai ejaan. Kesteren menulis contracten sedangkan Java Bode dengan kontrakten. “Kesteren menulis Excellentie JB dengan Eksellensie. Mengenaisurat aslinya belum/tidak dapat ditemukan. Dalam kesempatan ini petisi itu disebut sebagai Petisi 31 Maret 1877. Disebut demikian berdasarkan jawaban dari Gubernur Jenderal, lihat JB ibid. L. Adam menyebutkan bahwa petisi itu dikirim pada  tanggal 31 Maret 1877, lihat L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30.  Dalam Algemeen Verslag der Residentie Menado 1877, adanya petisi itu disebutkan sepintas lalu saja, yang dihubungkan dengan masalah peraturan agraria. Sedangkan politik verslag 1877 belum/tidak dapat ditemukan.
[8] Lihat catatan kaki no. 89.
[9] Lihat bagian II C.
[10] L. Adam. Op.cit. 1975,  hal. 30. Sedangkan tulisan asli L. Adam juga menyebutkan jumlah yang sama (Bukan Kesalahan tehnis-cetak).
[11] Seperti misalnya A.B. Lapian menulis (dalam rangka membahas buku Bert Supit); “...Kita mengetahui bahwa hingga sekarang masih ada kelompok yang berpegang pada Perjanjian 1679 ini (seperti dalam hal seminar menentukan hari jadi Minahasa pada tahun 1982 yl.), sedangkan tidak banyak menyadari bahwa naskah asli pun tidak ada. Kami sendiri dibesarkan di kalangan kelompok yang menolak keabsahan Perjanjian tersebut, halmana ternyata juga dianut oleh penulis buku”. Lihat A.B. Lapian. Pembahasan Buku: Bert Supit, Minahasa – Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan, 1986. Makalah pada seminar sehari Pembahasan Buku Bert Supit. Yayasan Kebudayaan Minahasa, Jakarta, 1986.
[12] Supit. Op.cit. hal. 105-106. Pemberian penghargaan berupa gelar-gelar tersebut dewasa ini sedang dicoba dihidupkan kembali. Seperti misalnya penganugerahan gelar Tonaaas Wangko kepada masing-masing, KSAD Letjen Pol Moch Sanoesi, dan KSAU Marsdya Oetomo. Lihat. “Album”. Tempo, no. 40 Tahun XVI, 29 November 1986, hal. 15.
[13] L. Adam Op. Cit., 197b. Selanjutnya dikatakan bahwa dari “penyalahgunaan” tersebut banyak kepala yang menjadi kaya. Pada tahun 1890 “penyelewengan” itu dilarang keras oleh pemerintah Belanda. Hal. 70.
[14] Tentunya ada kemungkinan lain dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kelompok zendeling dan swasta yang hadir juga dalam pertemuan itu, namun sebelum dokumen lengkap ditemukan rasanya agak riskan untuk berkesimpulan demikian. Tetapi MEFE berpendapat bahwa petisi itu dibuat akibat pengaruh salah satu artikel di surat kabar Locomotief yang menuduh bahwa peraturan agraria itu suatu permainan tingkat tinggi (hoogspel), selanjutnya dicurigai adanya pengaruh dari para zendeling dalam petisi tersebut. MEFE. Loc.Cit.
[15] Seperti kesan Wallace terhadap Minahasa dan juga dikap umumnya pejabat-pejabat Belanda.
[16] Surat kepada Residen selalu memakai kata penghormatan Tuan Bangsawan, dan kata-kata penghormatan lainnya untuk pejabat-pejabat Belanda. Sopan santun sangat diperkenalkan oleh para pengajar dan pendeta.
[17] Di kalangan orang Belanda sendiri terjadi perdebatan mengenai petisi tersebut. Dua surat kabar, Java Bode dan SHB juga mengulas petisi tersebut. JB berpendapat bahwa kebijaksanaan itu sesuai dengan status Minahasa, sedangkan SHB setelah mengkaji sejarah panjnag Minahasa dan VOC berkesimpulan bahwa peraturan itu kurang sesuai. Demikian juga pendapat C. Bosscher, bekas residen Menado melihat bahwa seyogyanya hukum adat Minahasa mendapat tempat tersendiri dalam mempertimbangkan suatu peraturan. Sedangkan Swaving tetap konsisten dengan pendapatnya bahwa Minahasa adalah kaula. Ia mendasarkan pendapatnya pada tiadanya reaksi dari para kepala Minahasa saat diterapkan peraturan-peraturan sejak 1824 dst.
[18] Selain itu terdapat beberapa latar belakang lain seperti untuk menertibkan pemilikan sehingga dapat meredakan konflik-konflik yang terjadi mengenai pemilikan tanah diantara rakyat Minahasa. CT Bertling. “Grondbezit in the Minahasa”. Koloniale studien. 12 (1928) 2: 322 – 339 Namun secara umum bahwa peraturan itu ditetapkan sejalan dengan masuknya modal swasta ke Hindia Belanda.
[19] Petisi itu diterjemahkan dari kutipan (extract) yang dimuat pada, IG 1 (1879) 2: 112-114.
[20] Lihat MEFE. Op.Cit. hal. 383 Lihat L. Adam. Op.Cit. hal. 30.
[21] MEFE, op.cit. hal. 388-390
[22] Manoppo-Watupongoh. Op.cit.
[23] Patuleia-Schouten. Loc.Cit.

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [3]

YUDA B. TANGKILISAN

3. Petisi Kepada Majelis Rendah Parlemen Negeri Belanda
Sementara itu, suatu peraturan agraria tertanggal 8 Maret 1877 (Staatsblad 1877 no. 55 dan 55a) menyatakan bahwa tanah Minahasa adalah tanah pemerintah, sehingga hak untuk menyewakannya berada di tangan pemerintah. Cuma tanah yang dimaksudkan adalah tanah-tanah yang tidak dipakai oleh penduduk, seperti hutan.

Tiga bulan kemudian keluar kembali peraturan yangg mengatur ijin penyewaan tanah kepada orang non bumiputra. Peraturan itu (Staatsblad 1877 no. 127) menguraikan pula beberapa syarat kepada penyewa serta prosedur, wewenang dan lamanya penyewaan tersebut.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda menanggapi petisi 31 Maret 1877 itu dengan menetapkan bahwa peraturan sebelumnya yang telah dikeluarkan tetap berlaku.

Jika dianalisa, peraturan agraris yang baru telah mempersempit pengertian milik kerajaan/pemerintah, dimana disebutkan bahwa tanah pemerintah adalah tanah-tanah yang belum dibuka/digarap (woeste gronden). Dan dalam prosedur penyewaan, kepala-kepala Minahasa juga mendapat tempat/bagian, dalam hal pengesahan.

Walaupun demikian, rupa-rupanya kepala Minahasa belum cukup puas dengn kebijaksanaan itu. Mereka kembali mengirimkan surat petisi. Sekali ini petisi dilayangkan kepada Majelis Rendah Negeri Belanda (Tweede Kamer).

Petisi itu berbunyi sebagai berikut :[19]
Kami pikir, bahwa Yang Dipertuan Agung Gubernur Jendral tidak mengadakan peraturan yang demikian, apabila Residen Menado Swaving tersebut diatas, yang belum lama memerintah, tidak memberikan keterangan yang salah kepada Yang Dipertuan Agung mengenai daerah kami Minahasa atau mengenai kontrak-kontrak yang dibuat nenek moyang kami dengan pemerintah Belanda.

Apa kemungkinannya, atau berdasarkan apa tanah (daerah) kami Minahasa menjadi tanah pemerintah, kami tidak mengerti, terutama bila kami pikir:
a.             pada masa yang sudah berlalu 200 tahun, dalam waktu kami atau nenek moyang kami tidak sekalipun mendengar bahwa Minahasa adalah tanah atau milik pemerintah, terlebih lagi tiap residen dahulu tidak pernah menyatakan hal tersebut kepada kami;
b.             pada isi kontrak yang dibuat nenk moyang kami dengan Pemerintah Belanda tertanggal 10 Januari 1679; 10 September 1699; 5 Agustus 1790; 13 Agustus 1791 dan pemerintah sementara Inggris tertanggal 13 September 1810;
c.              pada jumlah bidang tanah yang dibeli pemeirntah Belanda dari kami atau nenek moyang kami atau rakyat mereka,
d.            pada isi dokumen negara, yang mengandung pidato dari Residen Menado Jansen (yang memerintah Minahasa kurang lebih 6 tahun) yang ditujukan kepada kami tanggal 20 Agustus 1859 di Tondano, pada kesempatan mana dibagi-bagikan payung, dokumen negara mana dikirimkan kepada kami masing-masing oleh pemerintah Belanda sebagai cendera mata untuk disimpan sebagai barang pusaka keramat bagi anak-anak dan keturunan kami.
e.             Pada keputusan pemerintah tanggal 14 Januari 1866 no. 99 dan surat keputusan Residen Manado, van Deinse yang memerintah Minahasa kurang lebih 7 tahun, tanggal 8 April 1866 no. 49, dalam mana pengukur tanah F.W. Paepke diberi tugas untuk mengukur dan membuat daerah dari batas-batas distrik di Minahasa dengan upahnya dibebankan pada kas distrik karena tanah-tanah itu milik distrik;
f.               Pada surat dinas Residen Menado, van Deinse tersebut diatas, ditujukan kepada pemerintah tanggal 27 Juli 1866 no. 1416, dengan mana Yang Dipertuan (dengan menyerahkan surat permohonan tuan L.D.W.A. van Renedde van Duivenbode yang berisikan permintaan untuk menyewa sebidang tanah di Distrik Tonsea dari pemerintah, bahwa tanah-tanah di Minahasa sekian jauh bukan tanah negara dan ia milik rakyat distrik, dimana tanah itu terletak, dan . . . selanjutnya pada surat dinas Residen yang sama pula kepada pemerintah tanggal 25 Juli 1868 no. 1900, dalam mana Yang Dipertuan memberikan jawaban yang sama seperti tersebut diatas terhadap pertanyaan pemerintah kepadanya, malah dengan tambahan, bahwa pemerintah distrik yang bersangkutan berwenang penuh untuk menyewakan dan menjual tanah liar yang ada dalam distrik mereka, sebagaimana berulang kali terjadi pada masa dahulu.

Bahwa kami memang tidak boleh menentang keputusan Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tetapi menghormati dan memperhatikannya, namun hendak melihat apakah juga persoalan ini oleh Tuan yang dijunjung, mempertimbangkan dengan penuh keadilan.

O! betapa riangnya, betapa besar terima kasih kepada tuan-tuan apabila oleh kerja sama tuan-tuan yang adil itu membahagiakan Raja Belanda yang kami junjung dan kasihi memerintahkan mencabut undang-undang mengani daerah kami Minahasa, seperti tercantum dalam Lembaran Negara 1875 no. 199 dan 199a dan Lembaran Negara 8 Maret dan 17 Juni 1877 no. 55 dan 127, agar Minahasa tetap tanah kami dan rakyat kami, sehingga kami dengan demikian mulai membuat kontrak-kontrak dengan pemerintah Belanda, lebih daripada itu juga agar kami dan bawahan kami dan raja-raja lain yang mendengar ini tetap memuji, menghormati dan memperhatikan kebaikan, keadilan, ketenangan dan kecakapan pemerintah Belanda.

Akhirnya kami mohon maaf sedalam-dalamnya dari tuan-tuan yang terhormat, apabila kami membuat kesalahan dengan langsung berhadapan dengan tuan-tuan atau apabila salah atau melanggar norma-norma yang ada.
Ya, kiranya Tuhan memberkati pekerjaan kami!
Dibuat dengan segala kerendahan hati.
Kepala-kepala yang memerintah Minahasa.

Diperkirakan bahwa surat ini dikirimkan setelah petisi pertama dijawab oleh pemerintah Hindia Belanda karena jawaban yang diberikan telah dicantumkan dan juga menjadi keberatan para kepala kembali. M.E.F. Ellout memperkirakan bahwa petisi itu dibuat sekitar Juni 1878. L. Adam hanya menyebutkan sepintas lalu, tanpa memberikan tanggal yang pasti.[20]

 Sikap Majelis Rendah paling tidak dapat ditelusuri dengan pidato salah seorang anggota parlemen yang dikutip oleh MEF Ellout (MEFE):[21]

Tuan Ellout van Soeterwoede, Tuan Ketua!

Kepada Dewan ada surat yang diajukan oleh kepala-kepala Minahasa. Komisi peneliti surat-surat permintaan, menurut pendapat saya dengan cerdik menghindari dua bahaya dari usul yang menunjuk rasa tidak puas atas surat permohonan tersebut: pihak pertama campur tangan Dewan dalam masalah yang bukan wewenangnya, pada pihak lain berupa kealpaan dimana perhatian malah diberikan, sekarang atas cara kewenangan dan kepercayaan dari kepala-kepala pribumi, yang bertentangan atau tidak dengan peraturan yang berlaku menghubungi dewan.

Dewan menurut saya, tidak ada wewenang untuk mengadakan penilaian dalam masalah antara pemerintah Hindia dan Kepala-kepala pribumi, juga tidak dalam hal mengajukan suatu permintaan tertentu kepada menteri.
Sejauh saya dapat menilai permasalahan adalah pemerintah Hindia disini telah melaksanakan sesuai apa yang tertulis dalam peraturan umum dan dasar yang disetujui, sekalipun harus disesuaikan, bahwa dengan kealpaan dalam pelaksanaan oleh pejabat Hindia terjadi keraguan dalam hak dan wewenang kedua belah pihak.
“Saya berani berkata, ini untuk keterbukaan dan pemberian penjelasan, bahwa dengan usul komisi menunjuk ketidakpuasan, bukan berarti alpa dalam perhatian kepada kepentingan kepala dan rakyat pribuminya dan terlebih untuk bagian penduduk ini yang menyatu dengan kita oleh tali kekristenan, perhatian harus digandakan.
Tuan tahu, tuan ketua, bahwa ini hampir satu-satunya oasis Kristen di tengah-tengah kepulauan kita yang luas.
Malu bila dipikir, karena kealpaan orang tua-tua kita dan kita sendiri, sekarang sesudah 60 tahun kembali merasakan kenikmatan Tuhan. Disana bermukim rakyat Kristen sebagai buah dari penyebaran Injil, rakyat yang menonjol diantara yang lain dalam peradaban dan kesetiaan.
Sekarang saya berani tanpa melihat pengaudan yang menyatu dalam perasaan saya untuk mengajak Menteri dalam dua hal pokok.
Pertama, peraturan keadilan yang dibawakan kepada pemerintah Hindia dan diterima sepenuh hati, supaya sekali lagi memberi gaji yang telah dipikirkan (sekalipun pertama-tama ditolak oleh sebagian yang berwewenang) kepada kepala-kepala.
Kedua, supaya menggalakkan pelajaran bahasa Belanda dintara rakyat bersekolah, bahasa mana telah dikuasai oleh beberapa kepala dan bawahannya, untuk pelaksanaan hubungan dengan Belanda sambil membina pendidikan mereka.
Bila benar perkataan Karel V, bahwa orang sekian kali jadi manusia bila belajar mengerti banyak bahasa, dan orang akan mengaku, bahwa hal tersebut suatu bahasa yang sempurna dan lebih mematikan perkembangan ilmu dariapada menghidupkan.
Memang adalah pekerjaan penginjil Riedel yang pintar dan salah yang memasukkan bahasa Melayu ke sekolah daripada bahasa Alifuru; bahasa setempat; dengan mana dalam melaksanakan amanat suci dengan kemurahan Tuhan rakyat bertobat. Tetapi tidak ada hambatan untuk mengganti bahasa Melayu dengan bahasa Belanda.
Bila Menteri menambahkan dalam penerimaan murid sekolah unsur kekristenan, dengan mana dalam artikel baru “da Gida” bulan Mei, memberi kita harapan, sebagai kebebasan luas dan penghargaan, maka kepentingan yang besar dari Minahasa akan diperhatikan, dengan sendirinya disana akan terhenti pemujaan benda-benda yang disini tidak berlaku dan disana juga tidak perlu ada, dan Menteri
Semoga kata-kata saya yang sederhana ini, menyadarkan Menteri dan juga kepala-kepala dan rakyat Minahasa, betapa anggota Dewan Rakyat Belanda selalu memperhatikan semua perbuatan pemerintah di dalam kepentingan rakyat yang setia dan warga bawahan dari pemerintah Hindia Belanda.
Jadi jelaslah sudah “nasib” daripada petisi kepada Majelis Rendah Parlemen Belanda. Ternyata sasaran yang dituju tidak tepat, namun untuk selanjutnya cukup memberikan dampak yang cukup dalam. Seperti misalnya pertimbangan pemberian gaji. Namun yang jelas dari akibat adanya petisi itu adalah masa jabatan Swaving yang singkat, hanya dua tahun. (Bersambung ke bagian 4)

Friday, March 18, 2011

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [2]


Oleh Yuda B. Tangkilisan

Beberapa koreksi kecil terhadap teks harus diberikan, karena terdapat kesalahan. Dalam petisi itu disebutkan bahwa besluit Residen Swaving bertahun 1876 padahal yang benar adalah tertanggal 25 Januari 1877 no. 1 La A.[8] Kemudian besluit tanggal 12 Juni 1868 no. 30 sebagai dasar kewibawaan para kepala sebenarnya yang dimaksudkan adalah besluit 12 Juni 1858 no. 30 (Staatsblad 1856 no. 69).[9]

Mengenai jumlah kepala distrik yang ikut menandatangani terdapat beberapa dugaan (karena sumber aslinya tidak ada). L. Adam dalam tulisannya Pemerintahan di Minahasa[10] menyebutkan bahwa jumlah kepala distrik yang mengirimkan petisi itu sebanyak 23 orang. Sedangkan kalau diteliti kembali dalam Regeerings Almanac, terutama tahun 1878 sebab tahun sebelumnya tidak menyebutkan tentang kepala distrik, bahwa jumlah kepala distrik sebanyak 25 sesuai dengan jumlah distriknya (Lihat Lampiran).

Selain dicoba dibandingkan dengan Politiek Verslag (yang tidak ditemukan) juga dicoba dengan Algeemen Verslag tahun tersebut. Algemeen Verslag tidak menyebut jumlah, hanya disebutkan mutasi dan pengangkatan kepala distrik dan bawahannya. Pembandingan terakhir dicoba dengan meneliti surat kabar yang terbit di Minahasa Tjahaja Sijang selama tahun 1876-1877. Selain koran itu tidak memuat sama sekali, juga tidak ada tanda-tanda bahwa jabatan kepala di suatu distrik kosong atau adanya kepala distrik meninggal dunia, yang mana dapat menuju pada kemungkinan jumlah 23, seperti disebutkan L. Adam.

2. Sekutu Atau Kaula
Dua hal pokok yang tidak dapat dimengerti oleh para kepala distrik tersebut. Kedua hal itu saling berhubungan satu sama lain. Dengan pernyataan bahwa tanah Minahasa menjaadi tanah milik pemerintah, maka menurut anggapan mereka bahwa kontrak-kontrak yang pernah dikukuhkan telah tidak berlaku lagi.

Padahal kontrak-kontrak tersebut justru yang mengatur hubungan antara Minahasa dan Belanda. Kontrak itu dibuat oleh nenek moyang mereka masing-masing. Sebagai komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan menghormati leluhur (walaupun di tengah gencarnya Kristenisasi), kontrak tersebut dianggap tetap berlaku dan mengikat. Dengan sendirinya jika terjadi perubahan atas hubungan-hubungan yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, harus sepengetahuan kedua belah pihak. Bagi kepala Minahasa pembatalan sepihak berarti penodaan terhadap kesetian.

Kini tentunya perlu dipertanyakan mengenai kontrak itu sendiri. Beberapa pertanyaan dapat diajukan padanya. Seperti apakah kontrak itu (terutama dimaksudkan adalah kontrak 1679) absah. Ini merupakan pertanyaan penting yang dijawab terlebih dahulu.

Sikap terhadap keabsahan kontrak tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang menganggap kontrak itu sah dan menempatkan kedua belah pihak penanda tangan  kontrak itu sebagai tuan dan kaula. Kontrak yang terdapat pada catatan harian perjalanan keliling dari Padtbrugge itu dianggap salinan yang syah dari salinya. Memang dokumen asli dari kontrak itu tidak ditemukan kembali. Kelompok itu antara Graafland, Swaving dan Molsbergen sendiri.

Kelompok lainnya menolak keabsahan kontrak catatan Padtbrugge itu. Menurut mereka, tidak mungkin hubungan yang terjalin itu sebagai hubungan kaula. Mereka yakin bahwa kontrak asli 1679 mengatur hubungan sekutu atau persahabatan. Salah satu argumentasi mereka yang penting adalah jika kontrak itu telah mengatur hubungan kaula, mengapa pada tahun 1699 kontrak itu diperbaharui dengan menyebutkan hubungan kaula. Tentunya status kaula pada kontrak 1699 menggantikan status sekutu pada Kontrak 1679 tidak diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Memang peranan juru bahasa perlu diteliti kembali. Kelompok ini antara lain Kesteren, Wijnmalen, dan tentunya orang Minahasa sendiri.[11]

Bert Supit juga mencoba menelusuri mengenai alam pikiran kepala-kepala Minahasa dalam menerima Belanda. Menurut pendapatnya, Kontrak 1879 hanya memuat dua hal pokok, yaitu (1) permintaan bantuan kepada Kompeni, yang diakui sebagai orang kuat dan berwibawa (wailan wangko) untuk menghadapi musuh dari luar, antara lain Bolaang, (2) janji setia kawan dan persahabatan yang abadi para ukung, yang karenanya akan membantu Kompeni memelihara benteng dan bangunan lain, bila Kompeni berjanji memenuhi hal tersebut diatas sesuai prinsip mapalus. Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian wailan wangko tidak berimplikasi memerintah, melainkan hanya merupakan suatu julukan saja.[12]

Gambaran yang ada dalam benak kepala-kepala distrik mengenai hubungan mereka dengan Belanda adalah sebagaimana layaknya sahabat. Paling tidak dalam ingatan mereka bahawa peristiwa-peristiwa yang mereka alami sebelumnya memperkuat hubungan tersebut. Seperti misalnya yang sangat jelas adalah pemberian tongkat, payung serta 9 salvo tembakan sebagai tanda penghormatan untuk mereka.         

Selanjutnya mengenai hubungan Minahasa dan Belanda disebut sebagai hubungan antara orang tua dan anak. Dimana Minahasa sebagai anak dan Belanda sebagai orang tua. Dalam adat istiadat Minahasa memang dikenal masalah adopsi dengan berbagai macam tujuan danlatar belakangnya. Namun jika ditelusuri dari sejarah datangnya Belanda di Minahasa dan pola adopsi di Minahasa akan terasa kurang klop. Belanda datang di Minahasa karena diminta oleh orang Minahasa sendiri.

L. Adam dalam bukunya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa menyebutnya suatu pola adopsi yang agak aneh namun sesuai dengan proses tersebut di atas.[13] Disebutkan bahwa terdapatnya gejala adopsi terbalik, dimana seseorang atau keluarga mengangkat seorang kepala distrik atau lainnya (bawahannya) sebagai bapak, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai anak. Adopsi semacam ini menguntungkan kedua belah pihak. Sang “anak” akan memperoleh perlindungan dan jaminan keterpihakan sang “bapak” dalam perselisihan-perselisihan, terutama yang menyangkut soal tanah. Sebaliknya para kepala biasanya membiarkan dirinya diadopsi dengan maksud kelak akan mendapat bagian dalam pewarisan sang “anak”.

Minahasa sebagai masyarakat yang tidak mengenal bentuk kerajaan namun sebagai masyarakat primitif tidak mengenal hubungan majikan dan hamba. Mereka yang hanya mengakui primus inter pares beranggapan bahwa jika ada kewajiban yang harus dipenuhi, kesemua itu berdasarkan pada hubungan timbal balik. Hubungan  yang ada adalah antara pelindung dan yang dilindungi. Sistem kekeluargaan yang sangat erat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan politik setiap kesatuan (wanua dan walak). Memang selain keluarga dikenal juga adanya budak-budak melalui perang dan penaklukkan-penaklukkan.

Alam pemikiran kepala distrik kebanyakan masih kuat dipengaruhi tradisi demikian.[14] Seyogyanya jika mereka mempertanyakan kembali hubungan tersebut. Dan wajar juga jika dalam surat tersebut digunakan kata-kata yang meninggikan kedudukan Belanda. Yang paling jelas adalah bahwa penetrasi pendidikan Belanda sedemikian mendalam di Minahasa, tetapi dalam pemikiran Belanda bahwa mereka tetaplah bawahan, bumiputra yang sebelumnya tidak berperadaban[15] yang harus senantiasa dibimbing dan perlu dibudayakan.[16]

Surat itu juga menyingkapkan akan usaha Belanda untuk “mengikat” para kepala Minahasa (paling tidak demikian menurut anggapan mereka) dengan pemberian gaji. Para kepala tersebut memaklumi bahwa jika mereka menerima gaji dari pemerintah maka resmilah Minahasa merupakan bagian dari Hindia Belanda. Selanjutnya surat itu menyatakan bahwa mereka menolak tawaran Belanda tersebut. Mereka memilih tetap berdiri di atas pundak rakyatnya (menurut istilah mereka diasuh rakyatnya). Keindependenan merupakan alasan yang kuat bagi status sekutu.

Kemudian surat itu bercerita mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Minahasa selama hampir 200 tahun sejak kontrak pertama ditandatangani. Motivasi Minahasa untuk selalu berdiri di pihak Belanda (sehingga terkadang Minahasa disebut berdiri di pihak Belanda, bahkan disebut sebagai propinsi ke-12 dari Belanda, karena begitu setianya) adalah berdasarkan rasa terima kasih danbalas budi, kembali sesuai dengan kontrak. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa Belanda memperoleh tanah Minahasa bukan melalui penaklukan melainkan semata persahabatan.

Pada bagian akhir isi surat mereka mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dua permintaan pokok itu adalah pertama memohon pembaharuan kontrak atau tetap dengan kontrak yang lama namun dengan beberapa persyaratan tambahan. Rupa-rupanya para kepala distrik tetap menganggap bahwa kontrak merupakan dasar keberadaan Belanda di Minahasa.

Mereka tetap konsisten dengan permintaan bahwa Minahasa bukan tanah pemerintah. Beberapa pengecualian yang diminta seperti larangan penjualan tanah kepada orang non-bumiputra dan ijin untuk penyewaan  tanah kepada orang lain.

Tanah merupakan sumber penghasilan dan penghidupan bagi masyarakat agraris. Tanah juga memiliki nilai tersendiri dalam tata kehidupan, menunjukkan kekayaan/prestise, juga melambangkan keterikatan masyarakat terhadap leluhurnya dimana tanah itu dibuka oleh leluhurnya (bandingkan dengan pola pembukaan tanah yang bebas).[17]

Tak mengherankan jika mereka berpendapat bahwa tanah tidak boleh dijual kepada orang lain di luar distriknya apalagi kepada orang “seberang”, tetapi kesempatan lain terbuka untuk mereka (orang asing) yaitu melalui bentuk penyewaan, terutama tanah-tanah yang tidak sanggup digarap. (Padahal salah satu alasan penerapan peraturan tanah itu adalah karena banyaknya tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya).[18]

Para kepala distrik dalam surat itu beberapa kali menyebut “rakyat kami”. Padahal seperti telah disebutkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap kedudukan mereka dimana mereka boleh dikatakan telah menjadi alat pemerintahan kolonial, dipihak lain artinya mereka telah tercabut dari akarnya sebagai kepala tradisional. Penjelasannya mungkin bisa didapat dalam alam pemikiran mereka bahwa selama mereka masih dihidupi oleh rakyatnya, tidak menerima gaji dari pemerintah maka mereka tetap sebagai volkshoofd.

Permohonan ditutup dengan pertaruhan kesetiaan mereka kepada Belanda dan himbauan kembali agar Belanda sendiri ingat pada kewajibannya. (Bersambung ke bagian 3)