Sunday, February 13, 2011

HISTORIOGRAFI MINAHASA : Tinjauan Ringkas [1]


Petari Cakalele
Oleh:
Y.B. Tangkilisan dan  M.P.B. Manus

  
Dewasa ini penulisan mengenai masa lalu Minahasa, suatu kelompok etnik yang sebagian besar berdiam di daerah Sulawesi Utara, memperlihatkan kemajuan yang cukup membesarkan hati, tidak hanya dari jumlah terbitan (kuantitas) namun juga dari aspek bobot penulisan (kualitas). Selain meninjau kembali sejumlah tema penulisan yang telah dilakukan sebelumnya, kazanah penulisan sejarah Minahasa juga mengetengahkan beberapa tema-tema baru. Tentunya, kajian-kajian tersebut makin memperkaya pengetahuan dan pemahaman tentang masa lalu Minahasa untuk generasi masa kini yang menghadapi berbagai tantangan dalam berbagai aspek kehidupan dari sejumlah arah dan konteksitas (lokal, regional, nasional dan internasional).

Permasalahan kekinian yang melingkupi bangsa Indonesia, yang mana etnik Minahasa menjadi bagiannya, demikian kompleks dan rumit, yang diawali oleh krisis ekonomi hingga melanda ke bidang-bidang lainnya. Salah satu gelombang krisis yang cukup mengguncang sendi-sendi kehidupan masyarakat adalah perubahan politik yang menimbulkan keretakan pada keutuhan bangsa di sejumlah daerah dengan meninggalkan sejumlah korban jiwa. Keterbukaan yang mencuat diantisipasi oleh sejkumlah kalangan dengan mempertanyakan dasar dan bentuk kehidupan politik sebagai suatu bangsa (integrasi nasional) dengan alternatif pemisahan diri dari Republik Indonesia.

Tiba pada permasalahan ini, suatu penentuan keputusan yang sangat menentukan itu tentunya memerlukan kebijakan yang benar-benar arif agar maksud dan tujuan yang dikehendaki dapat dicapai tanpa penyesalan dikemudian hari.

Berbagai  pertimbangan dan pendekatan harus dijelajahi agar seluruh problematika yang dirasakan dan yang dihadapi betul-betul diketahui serta dimengerti. Diantara kesemua itu, pendekatan sejarah tidak boleh dikebelakangkan apalagi diabaikan, oleh karena kehidupan di masa kini merupakan keberlangsungan dari masa silam. Keberadaan Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan dan kesepakatan dari generasi sebelumnya yang sudah barang tentu memiliki alasan, tujuan dan visi ketika itu tentang kehidupan politik yang mereka perjuangkan. Generasi masa kini seyogyanya harus memahami kesemuanya.

Di tengah-tengah persimpangan pilihan bentuk politik yang akan ditempuh oleh RI tersebut, perhatian terhadap perkembangan sosial masyarakat di berbagai bidang tidak perlu tersita sepenuhnya terhadap persoalan tersebut. Apa pun yang terjadi the sho must go on. Perkembangan masyarakat Minahasa agar tetap berada di jalur kemajuan sejajar dengan lainnya perlu tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Kondisi ekonomi yang merupakan indikator kemajuan dan sumber utama bagi roda pembangunan bagi suatu kelompok sosial perlu terus dikembangkan dan tentunya upaya tersebut mengkaitkan semua bidang kajian bukan hanya monopoli disiplin ilmu ekonomi semata. Oleh karena pembangunan ekonomi berdimensi majemuk dan memerlukan pencermatan yang lintas kajian.

Di tengah-tengah upaya mengembangkan sumber daya alam dan manusia agar lebih bersaing (comparative and competitive advantages) perhatian perlu dikembangkan ke segala arah yang sesuai. Visi ke masa depan berdasarkan kalkulasi masa kini perlu diperkuat oleh refleksi ke masa lampau. Masa lalu mampu menerangi dan memberikan kearifan di kekinian untuk menggapai masa mendatang yang gemilang. Untuk itu karya-karya cendikia mengenai Minahasa yang relevan hendaknya disimak secara cermat untuk meningkatkan pemahaman diri, kondisi dan potensi untuk dijadikan modal yang kemudian digali dan dikembangkan. Seperti yang dikemukakan pada awal tulisan ini, kazanah penulisan sejarah Minahasa menyediakan dan memenuhi kebutuhan yang dirasakan tersebut.
  
Sejarah Penulisan Sejarah Minahasa
Penulisan sejarah, menurut Harry Elmer Barnes (1937), seperti bentuk kebudayaan lainnya, adalah suatu produk sejarah yang oleh karenanya harus dihadapkan pada latar belakang peradaban tempatnya bertumbuh dan berkembang. Dalam artian ini, suatu sejarah penulisan sejarah atau histografi merupakan suatu tahap dari sejarah intelektual umat manusia. Selanjutnya, Barnes mengemukakan penulisan sejarah intelektual akan menekankan baik teori orang besar (the great man theory), maupun determinisme kultural atau pengaruh latar belakang kebudayaan.

Menurut Breisach (1983) kaitan antara kehidupan dan histografi tampak pada kecenderungan pada tiap generasi dan sejarahwan pada masyarakat yang senantiasa memberi penafsiran baru terhadap masa lalu. Di budaya Barat (Western Culture) tugas sejarahwan histografi adalah melacak kembali bagaimana masyarakat mereflesikan masa lalu dan apa yang diberikan oleh refleksi itu tentang kehidupan manusia dalam batasan waktu lampau, kini dan mendatang. Dalam lingkup itu akan muncul perubahan-perubahan dan kesinambungan yang berlangsung dalam refleksi tersebut pada tahap-tahap perkembangan kebudayaan.

Penulisan sejarah mengenai Minahasa telah berlangsung seraya masuknya budaya Barat ke wilayah utara pulau Sulawesi tersebut. Mieke Scouten (1981) dalam karya bibliografisnya menyajikan ratusan karya tentang Minahasa, tidak hanya karya sejarah, oleh penulis-penulis Belanda. Dari latar belakang dan kedudukan mereka dapat diketengahkan suatu kategori yang antara lain meliputi kelompok Misionaris, Pejabat Pemerintahan, Ahli Hukum, Naturalis dan Linguis. Karya mereka tidak hanya berupa monografi dalam bentuk buku namun juga tersebar di berbagai jurnal, majalah dan terbitan lepas lainnya. Tentunya kompilasi Scouten tersebut perlu ditambah, mengingat batasan periode yang diajukan sampai tahun 1942. Padahal akhir-akhir ini sejumlah karya tentang Minahasa diterbitkan dan mengandung keterangan yang meluas dan mutakhir.

Untuk itu dari hasil penyibakkan dan penelusuran yangg terbatas tentang literatur sejarah Minahasa diantara karya-karya lainnya, suatu pembabakan sederhana tentang historiografi dalam arti sejarah penulisan sejarah Minahasa dapat diketengahkan, yakni Masa Kolonial (sampai 1950), Masa 1950 – 1980-an dan Masa Dekade 1990-an. Walau pembatasan kurun waktu tidak terlalu tegas dan seringkali tumpah tindih satu dengan lainnya.

Pembahasan tentang masa lalu Minahasa dirintis oleh para pendatang awal di bumi Toar-Lumimuut. Mereka memasukkan daerah yang dikunjungi dalam catatan-catatan perjalannya yang kemudian dilanjutkan oleh kalangan kolonial Hindia Belanda. Dari kelompok penulis yang dikemukakan oleh Schouten tersebut, kalangan pejabat pemerintahan dan misionaris yang lebih banyak menaruh perhatian pada masa lalu Minahasa. Pada kelompok pertama sejarah Minahasa ditulis untuk mengukuhkan keberadaan kekuasaan kolonial di daerah tersebut, sementara kelompok kedua banyak menggali masa lalu Minahasa melalui tradisi lisan dan sumber lokal lainnya. Tema yang mewarnai penulisan  tersebut terutama di sekitar hubungan Minahasa dan Belanda, Kristenisasi dan Perang Tondano. Pada umumnya, karya itu tersebar di sejumlah penerbitan, hingga suatu karya yang lebih lengkap dibuat oleh Godee-Molsbergen (1928) setelah karya Graafland (1869; 1898) yang kini sudah diterjemahkan. Tema lainnya adalah mengenai pendidikan, adat istiadat dan ekonomi.

Kebijakan kolonial di Minahasa mengakibatkan sejumlah perubahan sosial. Di bidang ekonomi, transformasi itu tampak pada arah dan sasaran kebijaksanaan yang ditujukan pada pengembangan masyarakat dari ertanian berpindah (ladang dan meramu) menjadi menetap. Teknologi pertanian dan jenis tanaman baru diperkenalkan, terutama pembudidayaan tanaman kopi yang dilakukan dengan penanaman wajib (Wessels 1891) berbeda dengan komoditi lainnya. Bersamaan dengan itu, sejalan dengan Peraturan Agraria dan Perkebunan Swasta masalah pemilikan tanah menjadi perhatian yang tidak dapat ditinggalkan (Wilken 1873; Bertling 1928). Pada umumnya, penulisan sejarah masa Kolonial bersifat Neerlando-sentrisme, philantropikal dan legitimatif.

Setelah pengakuan kedaulatan, umumnya tidak banyak karya-karya sejarah yang muncul. Suatu tulisan yang muncul adalah suatu karya dari Hetty Palm (1958) yang mencoba menggali kesenian kuno MInahasa. Palm mengatakan bahwa banyak kesenian Minahasa yang ditinggalkan dan kemudian menghilang ditengah-tengah pengenalan agama Kristen. Untuk itu Palm berupaya merekonstruksi kembali masa lalu Minahasa melalui penelusuran keseniannya. Upaya itu kemudian dikembangkan oleh kalangan Minahasa sendiri seperti Lapian (1980; 1984; 1985). Selain tentang surat kabar Tjahaja Sijang (1980), karya lainnya tidak secara khusus membahas masa lampau Minahasa karena tema itu merupakan bagian dari suatu pokok bahasan yang lebih luas. Walau demikian kedudukan dan peranan Minahasa tampak jelas bersama kelompok sosial dan etnik lainnya dalam permasalahan dan perkembangan yang dialami bersama. Beberapa karya yang tersebar di sejumlah penerbitan tentang adat dan bahasa Minahasa dilakukan oleh F.S. Watuseke (1986) di samping karya ringkasnya tentang Sejarah Minahasa (1968). [ bersambung ]

No comments:

Post a Comment