Thursday, January 20, 2011

SIMBOL SIMBOL DASAR KEBUDAYAAN MINAHASA [2]

 IV.Simbol-simbol Dasar Orang Minahasa.

Apakah sebenarnya simbol-simbol itu?  Ernest Cassirer dalam bukunya An Essay on  Man  telah menggambarkan, bahwa manusia adalah animal symbolicum, yaitu berada dalam suatu dunia simbolis yang mengelilinginya. Menceritakan tentang keadaan tempat tinggal pada masa lampau, kepemimpinan dan religi, telah masuk pada dunia simbol. Dari simbol-simbol itu kita dapat memahami sistem nilai yang berlaku pada masa lampau (Zeitgeist) “Orang Minahasa”. Jika religi  pribumi sebagaimana yang tergambar dalam beberapa tanda di Batu Pinabetengan termasuk dalam kebudayaan, maka dari  batu itulah juga dapat tergambar suatu learning proses dari “Orang Minahasa” karena fungsi symbolic yang melekat pada manusia adalah beranjak dari : Mitos, Religi, Bahasa, Seni, Sejarah dan pada akhirnya membentuk Ilmu (pengetahuan).

V.Simbol-simbol.

Ada empat unsur terdapat pada simbol-simbol.
1.                       Simbol =  tanda
2.                       Simbol =  yang bersifat abstrak.
3.                       Simbol = yang bukan merupakan rangsangan mutlak.
4.                       Simbol = merupakan konsep bermakna.

Simbol-simbol yang terdapat dalam Batu Pinabetengan yang akan dibicarakan adalah yang berupa tanda-tanda, yang masih jelas terlihat. Mariolijn Groustra, seorang ahli gambar-gambar isoteric dan seorang ahli agama-agama lama, juga seorang cicit dari J.G.Schwarz, menunjukkan tiga tanda yang penting yang terdapat di batu Pinabetengan , yaitu:


 Dari seluruh cerita batu Pinabetengan dapat disimpulkan bahwa: Disitu adalah pusat dari religi pribumi. Kemudian batu itu menjadi simbol dari keseimbangan dari para subetnik yang datang kemudian. Jadi pencampuran etnik untuk  “Orang Minahasa” bukanlah sesuatu yang baru. Menerima etnik lain adalah suatu yang lumrah.

Perlu dicatat bahwa batu Pinabetengan itu diketahui pertama kali sebagai tempat pemujaan dari religi pribumi “Orang Minahasa” oleh J.G.Schwarz, penginjil Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang bertugas di daerah Langoan dan sekitarnya di tahun 1832. Batu ini dicarikan maknanya oleh JAT. Schwarz anak J.G. Schwarz yang kemudian bertugas juga sebagai seorang penginjil yang mengelola daerah Sonder dan sekitarnya.

Simbol yang terpenting yang berguna sampai saat ini, adalah simbol pertama dan simbol yang kedua. Yaitu simbol air dan simbol energi sebagai simbol kekuatan dan keseimbangan.

VI. Penutup.
Prichard Evans (1984) seorang ahli religi pribumi dari Inggris membagi ciri religi pribumi, dengan agama moderen ke dalam mistik material dan mistik spiritual. Namun menurut penulis pembagian ini tidak terlalu tepat, karena pada hakekatnya agama moderen pun sekarang ini lebih jelas terlihat mempunyai ciri materialnya yaitu perkembangan ekonomi.

Maka jelas apa yang dikatakan oleh Ernest Cassirer bahwa manusia sebagai animal symbolicum punya sarana untuk mengatasi suatu ruang dan waktu, sesuai dengan apa yang dinamakan zeitgeist atau jiwa zamannya. Bila pada masa lampau simbol-simbol religi pribumi “Orang Minahasa” tergambar pada simbol-simbol energi (kekuatan) keseimbangan secara individu, untuk menggalang kekuatan etnik, serta pada simbol air, maka sekarang ini kedua simbol itu pun tetap tercermin, dikala Minahasa telah punya agama moderen.Hanya ruang, dari simbol kekuatan/energi itu tidak lagi tertempel pada batu Pinabetengan, tetapi simbol itu melekat pada danau Tondano. Pada danau Tondano sekarang ini melekat simbol lama yaitu: AIR, sebagai pemberi energi yang lebih besar yaitu simbol moderen: ENERGI yang sesuai dengan zeitgeist berarti pembangkit energi listrik guna kepentingan pembangunan di Minahasa.

Simbol-simbol yang terdapat di danau Tondano adalah terikat dalam solidaritas kehidupan Minahasa. Keunikannya, simbol danau Tondano untuk Minahasa punya makna emosional dan sekaligus rasional. Dapat mengkomunikasikan antar manusia, dan juga punya roh sebagai tenaga penggerak [energi] untuk membangun Minahasa dalam zeitgeist milenium ke tiga. Simbol budaya masa lampau yaitu AIR dan ENERGI tergambar pula pada danau Tondano. (Selesai)

KEPUSTAKAAN

Cassirer Ernest (Tanpa tahun & Penerbit) An Essay on Man, New York,
Mc.Millan.Foster G.M. (ed) (1967), Peasant Society: New York: Little Brown.

Jones.  G (1977), Demography of North Celebes,  Australia : Monash University.

Kartodirdjo, Sartono,ed., (1977) Masyarakat Kuno dan Kelompok-kelompok Sosial,Jakarta : PT.Gramedia.

Lapian. A.B. (1989), Resistance to Western Penetration and Dominance, Historical Development- in Minahasa North Sulawesi,Japan Centre for South East Asia Studies: Kyoto – University.

Molsbergen Godee E.C. (1928) Geschiedenis van de Minahasa tot 1829,  Weltevreden Landsdrukkerij.

Pantouw. A. (1928), Minahasa lama dan Baru, Manadosche Drukkerij.

Prichard Evans (1984), Teori-teori tentang agama primitif : Yogyakarta:
Terjemahan  PLP2M.

Riedel J.G.F. (1872), De Minahasa in 1825. Bijdrage tot de Kennis van Noord- Celebes: TBG : 458-568.

Schwarz. J.A.T. (1904), Tontemboansche Teksten. Holland : Brill E.G.

Interview: Mariolijn Groustra, ahli gambar agama-agama tua, Leiden Universiteit, mengunjungi Batu  Pinabetengan tahun 1994. (ahli gambar Isoteric).

SIMBOL SIMBOL DASAR KEBUDAYAAN MINAHASA [1]

BERTHA PANTOUW


I. Bentuk Fisik.

Minahasa berasal dari kata esa yang berarti satu; kata mah-esa berarti menyatukan, yakni menyatukan berbagai kelompok subetnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombuluh, Tonsea, Tondano Ponosakan, Pasan, Ratahan dan Bantik.

Nama Minahasa pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D.Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok subetnik Bantik dan Tombuluh (Tateli); demikian pula antara kelompok subetnik Tondano dan Tonsawang (Godee Molsbergen 1928:53).

Minahasa adalah semenanjung yang terletak di bagian paling Utara dari semenanjung pulau Sulawesi, yaitu antara 0 derajat 51’ dan 1 derajat 51’ 40” Lintang Utara dan antara 123 derajat 21’ 30” dan 125 derajat 10’ Bujur Timur. Luas semenanjung adalah 5373 kilometer persegi (Provinsi Tingkat I Sulawesi Utara “Badan Koordinasi Penanam Modal Daerah Dati I Sulut 1984/1985:1). Lebar semenanjung tidak melebihi 50 mil (sekitar 66,67 kilometer). Banyak dari gugusan gunung berapi tercatat masih aktif terutama Lokon, Soputan dan Mahawu (Jones 1977:8).

Iklim daerah Minahasa terpengaruh oleh angin muson. Pada bulan September sampai April bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei-November bertiup angin Selatan ke Barat Laut. Curah hujan didaerah pedalaman Minahasa terhitung tinggi yaitu 4188mm per tahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu di pesisir pantai agak tinggi, namun di daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat Celsius pada musim hujan.

Jenis vegetasi yang paling dominan sekarang adalah pohon kelapa yang terdapat sejak zaman Portugis, sedangkan sejak dahulu kala telah ada pohon seho (“Aranga Sachariferum”) sebagai pohon yang serba guna, dan sekarang yang menjadi tanaman favorit adalah cengkih dan vanili.

Kuda (“Kawalo”) telah dikenal penduduk sejak zaman Spanyol sedangkan sapi didatangkan dari Benggala/India sejak zaman V.O.C. (“Tjahaja Siang” Januari :1870).

II. Bentuk Masyarakat dan Kepemimpinan.

Bentuk masyarakat Minahasa pada zaman dahulu adalah bentuk tribe. Bentuk masyarakat demikian dirinci oleh George Foster dkk dalam “Peasant Society” (1967) sebagai “tribal system” atau kelompok masyarakat pedalaman yang pokok kehidupan adalah ladang pertanian. Unit politiknya yang tertinggi adalah walak (A.B.Lapian:1989:116).

Pada zaman dahulu dapat saja seorang walak kepala subetnik menjadi seorang walian (pendeta religi pribumi) dan dalam fungsi seperti itu kekuasaannya menjadi lebih mutlak. Ia akan merupakan seorang yang dekat dengan alam, karena dia harus dapat cepat menangkap gejala-gejala alam untuk mengatasi persoalan yang mungkin terdapat diwilayahnya. Jadi dia harus seorang yang dapat mambaca gejala-gejala alam yang diberikan alam sekitar, dan seorang yang mengerti akan batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Seorang pimpinan dianggap seseorang yang memiliki “Keter” atau kekuatan. Karena memiliki kekuatan ini, maka ia dapat diangkat menjadi pemimpin. Ia dapat dianggap yang terbaik di antara warga sederajatnya yang terdapat dalam wilayah, oleh sebab itu ia menjadi unsur “primus interpares” desanya. Dalam peran ini dia juga tidak boleh sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya, terutama dalam soal pembagian tanah, karena dia juga bisa kenakan sanksi dari “Opo” atau semacam sanksi Ilahi. Ia dapat menjadi “weles” atau tanpa kekuatan. Bila seorang pimpinan terkena sanksi Ilahi, dan menjadi weles maka akibatnya berat. Ia akan mendapat nama jelek dan dikucilkan dari masyarakat. Walaupun dia masih hidup tetapi dianggap sama sekali tidak berguna bagi masyarakat, sebagai hukuman bagi si pemimpin ( J.A.T. Schwarz, Tontemboansche Teksten :1907:133,381). Dalam istilah moderen disebut “character assassination”.

J.G.F. Riedel sebagai seorang ahli pemerintahan pada tahun 1870, menilai pengangkatan kepala walak sebagai sesuatu yang khas di Minahasa. Riedel menulis sebagai berikut : “Ofschoon onder de Alfoeren in de Minahasa ook een ieder geroepen kan worden het bestuur te voeren, is het hun gansch niet onverschillig of zoo iemand de panagaranan (van ngaran) naam, de abakai oembanoea…(Walaupun siapa saja di dalam wilayah itu, dapat dipanggil untuk memimpin pemerintahan yang dipilih oleh wakil-wakil/ “ngaran” untuk menjadi kepala (“abakai oem banoea”), tetapi dalam cara memilih mereka tidak sembarangan.

III.Cerita dan Makna Batu Pinabetengan.

Batu ini terdapat didaerah Tompaso, Minahasa Tengah, kira-kira 10 km masuk dari jalan raya Tompaso, dan terletak dilereng gunung Tonderukan, dekat gunung Soputan. Di pegunungan Tonderukan terdapat banyak batu. Menurut para ahli arkeologi batu-batu tersebut termasuk jenis “menhir”, yang dikenal sejak zaman prasejarah dan termasuk tradisi “megaliktik”. Batu-batu seperti itu yang terdapat dilereng gunung Tonderukan menjadi tempat duduk untuk orang-orang untuk mendengar bunyi burung. Salah satu batu yang letaknya lebih ke puncak dari batu Pinabetengan dinamakan “Kekeretan”, penduduk percaya bahwa itulah tempat duduk Opo’ Muntu Untu, bila ia turun maka disertai gemuruh yang dasyhat, dan biasanya turun ke gunung Soputan sesudah itu baru ke gunung Tonderukan. Bila dia hadir maka Manguni akan memberitakannya. Terdapat pula batu yang lain, yang dikatakan tempat duduk Opo’ Kopero.  Opo’ Muntu Untu adalah utusan Yang Maha Tinggi, atau Kasuruan (Tuhan). Kasuruan, akan menyuarakan pesanannya melalui Manguni yang dilambangkan sebagai burung yang bijaksana. Bunyi yang bagus disebut Maapi. Manguni dipelihara oleh Opo’ khusus yaitu Opo’ Mamarimbing oleh sebab itu Manguni disebut juga se kokok se Mamarimbing, atau burungnya Opo’ Mamarimbing yang dalam religi pribumi, adalah juru bicara Kasuruan.

Batu Pinabetengan merupakan suatu bukti bahwa Minahasa Tengahlah dahulu menjadi pusat kebudayaan nenek moyang. Penulis melihat bahwa cerita “Lumimuut dan Toar”, sangat erat hubungannya dengan cerita Bqatu Pinabetengan atau Batu Pembagian wilayah untuk para subetnik. Setiap suku atau sub-suku yang datang kemudian seperti Tonsawang, Pasan, Ratahan, Pasan dan Bantik, harus mengakui ikrar yang dilakukan di Batu Pinabetengan, yaitu mereka adalah satu keturunan yaitu dari Lumimuut dan Toar, akibatnya versi mitos Lumimuut dan Toar menjadi banyak, mnecapai lebih dari 90 versi tetapi terdapat versi yang sama dalam setiap cerita yaitu terdapatnya, tanah, air dan batu pada setiap versi. (Bersambung ke bagian 2)

Bahasa-Bahasa di Minahasa [3]

Oleh F.S.Watuseke


Beberapa waktu sebelumnya sewaktu ditanya pada orang yang berwewenang juga, diberikan respons, bahwa untuk memberikan pelajaran bahasa daerah Minahasa, tidak ada kurikulum, yang datang dari Jakarta.

Saya katakan waktu itu bahwa siapa yang harus membuat kurikulum bukan Jakarta, akan tetapi dari sini yang harus memberikannya.

Pernah dilontarkan bahwa tidak ada guru-guru yang dapat memberikan mata pelajaran bahasa daerah. Saya pernah usulkan kita ambil saja siapa saja guru yang mengajar di SD dari seorang guru yang berasal dari wilayah dimana sekolah  itu terletak, yang masih dapat menutur bahasa daerah asalnya.

Sejak beberapa tahun memang di beberapa sekolah dasar telah diberikan mata pelajaran bahasa daerah, akan tetapi itu merupakan pilihan dari mata-mata pelajaran yang disatukan pada muatan lokal. Pada muatan lokal ini ada ilmu pengenalan alam, ilmu bumi, sejarah daerah, bahasa daerah dan lain-lain. Apa yang terjadi umumnya seorang guru mengambil mata pelajaran yang gampang, yaitu umumnya mata pelajaran bukan bahasa daerah.

Pada saat kita beranjak pada akhir milenium kedua yang masih sisa enam bulan lagi, maka keadaan pemakaian bahasa percakapan di Minahasa adalah sebagai berikut :

Pemakaian Bahasa Daerah: Pemakaian bahasa daerah sudah mulai berkotak-kotak. Di atas saya telah berikan contoh. Kalau 28 tahun lalu pada sebuah seminar bahasa daerah telah dikatakan, bahwa disinyalir, bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa telah menuju pada kepunahan. Pada waktu saya masih menantang anggapan tersebut. Saya katakan waktu itu, bahwa anak-anak yang berumur sekitar 12 – 15 tahun masih banyak yang menguasai bahasa daerah. Saya mengambil contoh waktu itu di wilayah Tondano. Pada saat ini tantangan itu tokh ternyata tidak berlaku lagi. Informasi yang saya baru dengar ialah bahwa pemuda sampai pada orang-orang berumur 40 tahun tidak berbahasa daerah lagi di wilayah Ratahan, hanya satu dua desa yang masih agak utuh yaitu Pangu, Wioi dan barangkali Wiau. Dan selainnya itu tidak lagi dan mengatakan, bahwa mereka mengatakan, bahwa bahasa daerah itu adalah “Bahasa Kampungan”.

Minahasa yang dikenal dengan gengsinya dapat dimengerti timbulnya keadaan demikian. Hal ini kita jumpai juga dibeberapa wilayah Tontemboan.

Ada seorang teman saya menceritakan kepada saya, bahwa baru-baru ini ia baru saja kembali dari Pekabaran Injil di wilayah pantai Tondano dan pada salah satu pertemuan ia menyampaikan sesuatu dalam bahasa daerah dan katanya hanya orang-orang tua dapat mengertinya dan yang pemuda tidak mengerti lagi. Saya sebenarnya agak kecewa mengenai pendapatnya, bahwa usaha untuk mereka membaca teks alkitab dalam terjemahan dalam bahasa Tondano dapat jalan bisa atau tidak. Penyampaiannya yang mengatakan bahwa tidak ada guna untuk menyampaikan buku-buku agama yang diterjemahkan dalam bahasa daerah ditujukan kepada mereka, mengecewakan saya. Oleh karena saya mengharapkan dari padanya bahwa ia dapat memberikan pendapat-pendapat pada mereka untuk dapat mengetahui bahasa daerah. Dari pihak gereja GMIM beberapa tahun lalu ada usaha untuk meluaskan gereja-gereja pada hari-hari tertentu untuk mengadakan kebaktian dengan memakai bahasa daerah. Yang saya tahu adalah mengkhotbah dalam bahasa Tontemboan, pernah dalam bahasa Tondano disalah satu gereja di Manado. Baru-baru ini saya dengar, bahwa di wilayah Tombatu sering-sering diadakan kebaktian dalam bahasa daerah Tombatu, yaitu dalam bahasa Tonsawang.

Di sana- sini di kota Manado diadakan kebaktian-kebaktian dalam bahasa daerah di kolom-kolom tertentu, umpama di Rike, di Tanjung Batu masih terdapat 2 perkumpulan yang memakai bahasa Tondano sebagai bahasa pengantar. Dan saya kira masih ada banyak lagi kegiatan-kegiatan pemakaian bahasa daerah di wilayah-wilayah tertentu di Minahasa, Manado dan Bitung. Ada salah satu kumpulan di Kota Bitung yang memberikan khotbah dalam bahasa Tonsea. Kalau sudah begini keadaan bahasa daerah di Minahasa, Manado dan Bitung, bagaimanakah kelanjutanya ?

Kita dapat mengira-ngirakan, bahwa pada dasawarsa awal dari milenium ketiga, bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa telah sangat merana. Apakah hal ini kita tinggalkan begitu saja ? Jika bahasa-bahasa daerah itu telah merana bahasa apakah yang dapat menggantinya? Dalam hal ini kita dapat katakan bahwa bahasa Melayu-Manado yang dipergunakan di seluruh Minahasa secara geografis dan itu pula akan lambat laun akan merana pula dan barangkali Bahasa Indonesia yang akan menggantinya sebagai bahasa lisan. Bahasa ini kan sudah dipergunakan sebagai bahasa tulisan, malah sebelumnya sejak medio abad ke sembilan belas bahasa melayu telah dipergunakan sebagai bahasa tulisan di sekolah-sekolah rakyat, di gereja-gereja dan lain-lain Jika benar pendapat ini akan berlanjut pada awal dasawarsa pada milenium ketiga, apakah daya kita untuk masih dapat melestarikan bahasa daerah Minahasa ini untuk dipertahankan atau dilestarikan ?

Jalan satu-satunya turun tanganya pemerintah, dalam hal ini Depdikbud dan Depdagri, untuk mengusahakan kearah itu. Biarlah Depdikbud mengatur kurikulumnya dan mendorong pemberian pelajaran bahasa daerah dengan sungguh-sungguh. Bukan hanya asal sudah diinstruksikan untuk diberikan pelajaran bahasa daerah akan tetapi untuk memberikan dorongan yang sungguh-sungguh. Maksud saya berikan waktu tertentu untuk mata pelajaran bahasa daerah. Disamping itu mengadakan sayembara untuk menulis buku-buku pelajaran bahasa daerah.

Kedua instansi tersebut dapat memberikan kontribusinya sarana-sarana dan biaya untuk pelaksanaannya dan disamping itu Deppen dapat juga memberikan kontribusninya dengan sarana-sarananya seperti penyebaran bahasa daerah melalui RRI atau TVRI.

Dalam perubahan kebudayaan dan adat istiadat etnik Minahasa menghadapi milenium ke-III, maka sebagai salah satu unsur penting dari padanya Bahasa Daerah pun turut berobah dan merana akibat benturan yang diakibatkan oleh masuknya sekolah-sekolah dengan kata lain dengan mengetahui ilmu pengetahuan.

Dengan berakhirnya ceramah saya ini saya ingin sampaikan dua buah hal. Pertama saya ingin sampaikan dua buah nyanyian Minahasa populer dan sebuah cerita populer yang masih dikenal masyarakat Minahasa. Kedua nyanyian ini sudah menjadi lambang identitas orang Minahasa dimanapun mereka berada dan cerita itu menunjukkan cakal bakal orang Minahasa yang menunjukkan juga kesatuan dan persatuan orang Minahasa.

Nyanyian yang saya maksud dalah O Ina’ ni Keke’ dan Sayang-Sayang si Patokaan.

O Ina’ ni keke’
Mange wisa ko ?
Mange waki wenang
Tumeles baleko,
Baleko sapa ? Baleko temo’
Weane, weane
Weane toyo’,
Dai’mo siapa
Ko Tare makiwe.
Artinya : Hai Ibu anak gadis,
Anda mau kemana ?
Aku mau ke Manado
Untuk membeli baleko
Baleko sapa
Baleko temo’
Berilah, berilah
Berilah sedikit
Sudah habis anda baru mau minta

Sayang, sayang si Patokaan
Matigo-tigogorokan sayang
Sa ko mangemo an tana’ jauh
Mangemo mile-ileklako sayang
Sa ko mangemo nan tana’ jauh
Mengemo mile-ileklako sayang.

Nyanyian si patokaan yang menyanyikan seorang tua yang berjalan lenggang-lenggang kali ini ke kiri dan kemudian ke kanan, oleh kelanjutan usianya. Jika anda mau ke tanah jauh, keperantauan, pergilah dan berhati-hatilah. Nyanyian O Ina’ ni keke’dan nyanyian Sayang, sayang si Patokaan keduanya berasal dari nyanyian untuk mendendangkan seorang bayi atau anak dalam pelukan ibu atau bapak untuk menidurkannya. Sesungguhnya nyanyian ini adalah sederhana sekali. Kita dapat bayangkan seorang ibu atau bapak yang berdendang-dendang untuk menidurkan anak. Bahkan salah sebuah dari nyanyian sederhana ini telah diperhatikan seorang penulis asing dan menganalisanya. Akan tetapi kemudian nyanyian bersama lagu yang sederhana itu dinyanyikan oleh seorang penyanyi dan komponis Minahasa yang terkenal yaitu Laan Mogot dalam lagu yang dipermodern pada zamannya di Hilversum Nederland sekitar tahun 1928 dan direkam dalam piringan hitam bermerek Decca dan disebarluaskan di seluruh Indonesia dan di negeri Belanda. Sekarang kedua lagu yang dimodernisir oleh Laan Mogot masih tetap populer. Kemudian disebarkan melalui RRI Manado dan Jakarta dan lain-lain tempat. Malah sekarang kedua nyanyian ini telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang, apalagi dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Pada bagian akhir ini saya ingin sampaikan sebuah cerita tentang orang pertama di Minahasa. Melalui cerita tradisi maka kita ketahui orang-orang pertama kita orang Minahasa yang merupakan juga awal dari mitologi Minahasa. Saya maksudkan adalah Toar dan Lumimuut. Kita semua mengenal kedua tokoh ini Lumimuut, seorang manusia mitologis, diam di tempat yang bernama Tuur-in Tana’ (tanah leluhur, tanah asal). Di tempat itu diceritakan secara mitologis akan kelahiran anaknya pria yang bernama To’ar. Setelah ia dewasa atas sesuatu anjuran, ibu dan anak mengelilingi dunia untuk mencari jodoh masing-masing. Setelah mereka bertemu di suatu tempat mereka mempersamakan tongkat yang dipegang masing-masing, ternyata tidak sama panjang lagi; hal ini berarti bahwa mereka bukan ibu dan anak, tetapi asing satu dengan yang lain, olehnya mereka menjadi suami isteri. Mereka mendapat turunan yang beranggota banyak sekali sehingga dapat dibahagi dalam beberapa kelompok. Kelompok yang dikenal umum adalah : (1) Makarua-siouw (2x9), (2) Makatelu-pitu (3x7) dan (3) Pasiowan-Telu (3 orang pasiouwan).

Motif dimana seorang anak pria kawin dengan ibunya sendiri, banyak tidak diterima orang Minahasa sendiri. Tetapi bagi kita hal ini adalah sebuah mitos yang ceritanya kita wariskan dari dahulu sehingga sekarang. Kita semua mengatakan Kita Puyun ni Toar wo ni Lumimuut. Kita adalah anak cucu dari Toar dan Lumimuut. Dan daerah dimana kita sekarang berada dikatakan Tanah To’ar dan Lumimuut.

Motif seorang anak pria kawin dengan ibunya terdapat juga di Jawa umpama Gunung Wesi kawin dengan Ibu Sinta dan di Eropa di negara Junani kita kenal Oidipus kawin dengan ibunya sendiri Jokasta. Dalam mitologi atau dalam folklore sifat ini kita sebut Oidipus-complex atau Kompleks Oidipus, motif Oidipus. Bagi kita orang Minahasa kita pandang leluhur kita Toar dan Lumimuut sebagai alat pemersatu. Kita semua orang Minahasa adalah turunan dari Toar dan Lumimuut, dengan kata lain “Torang samua basudara” [Selesai]


Makapulu’ Le’os = Terima Kasih.
Pakatu’an wo Pakalawiren Kita nu waya !

Wednesday, January 19, 2011

Bahasa-Bahasa di Minahasa [2]

Oleh F.S. Watuseke


Bahasa Tontemboan dipergunakan di Minahasa bahagian Selatan, yaitu sebelah Selatan wilayah dialek Kakas, di Langowan, selanjutnya di Tompaso’, Kawangkoan, Sonder, Rumo’ong dan Tombasian. Kemudian sebahagian dari penutur-penutur bahasa itu menyebar ke wilayah di seberang Sungai Ranoyapo’ di wilayah sekitar G. Lolombulan. Bahasa ini terdiri pula dari dua dialek besar yakni mereka yang disebut makela’i dan yang disebut Matana’i yaitu mereka yang menyebut kela’i (yang begini atau maotou) dan mereka yang menyebut tana’i (dalam arti yang sama). Pada bahagian matana’i terdiri dari dialek-dialek Sonder dan Kawangkoan dan dari bahagian makela’i terdiri dari dialek-dialek Langowan, Tompaso’, Rumo’ong dan Tombasian. Bahasa ini merupakan bahasa yang menaruh penutur yang paling banyak di Minahasa.

Dalam dialek besar matand’i pada dialek Sonder konsonan k sesudah vokal i menjadi e seperti tincas “lari”, sicu “siku”, Mawicere “nama lelaki” dan konsonan n sesudah i menjadi ny; jikalau konsonan rangkap ngk didahului oleh vokal i, maka ingk menjadi inc, seperrti inciriw “lereng”, selanjutnya wulinya “telur”. Bahasa Tontemboan memakai awalan ni-, dalam arti perfektum, jikalau bahasa Tonsea’, bahasa Tondano dan Tombulu’-Utara memakai sisipan -in- dalam arti yang sama. Bahasa Tombulu’-Selatan dialek Kakas dari Bahasa Tondano dan Bahasa Tontemboan memakai awalan ni- untuk arti perfektum tersebut.

Bahasa Tonsawang dipergunakan oleh penduduk yang menempati wilayah administrasi Kecamatan Tombatu, dengan pusatnya Tombatu. Moyang dari puak yang menggunakan bahasa ini, datangnya dari pulau kecil Mayu dan Tafure’ di selat Maluku. Dari sama mereka mendarat di Minahasa dekat desa Atep (pantai Tondano), kemudian ke Tompaso’ dan akhirnya di tempat pemukiman mereka sekarang di sebelah Selatan G. Soputan. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh Bahasa Minahasa, istimewa bahasa Tontemboan sehingga bahasa itu sangat kerabat dengan bahasa-bahasa Minahasa, sungguhpun mereka berbeda asal. Jika dalam bahasa Tontemboan terdapat awalan ni- dalam arti perfektum, maka dalam bahasa Tonsawang terdapat awalan i-, maka dalam bahasa-bahasa Minahasa Utara lain dipergunaan sisipan -im-. Bahasa Tonsaw bul “rambut ayam”, Tomb. bul-bul, Tonsea’ budbud; Tonsaw. kaha’ “kakak”, Tond. Tomb. “kaka”; Tonsaw. Kalekep “sayap”, Tond. kale’kew, Tomb. “kalebkeb”.

Bahasa Ratahan dipergunakan disekitar kota Ratahan, seperti di Ratahan sendiri, selanjutnya di Rasi, Liwutung, Molompar, Tatengesan, Bentenan dll. Moyang mereka sebelum datang di Ratahan datang melalui Bentenan, olehnya juga puak yang memakai bahasa ini disebut puak Bentenan dan hasil tenunan mereka disebut kain Bentenan. Bahasa Ratahan mempunyai persamaan dengan bahasa Sangi, seperti:  onop “sisik ikan”, Sangi ona’; owan “uban”, obang; sa “satu”, Sang. Esa’ iik “kecil”, Sang. ihi’  “berkurang”; low “hari”, Sang. elo.

Bahasa Bantik dipakai di wilayah kecil sebelah Barat Daya Manado, yakni di Malalayang, dan Kalasei dan disebelah utara kota Buha, Bengkel Talawaan-Bantik, Bailang, Molas, Meras dan pada mulanya di kelurahan Singkil di kota Manado, selanjutnya di desa Tanamon di kecamatan Tenga’ (Minahasa-Selatan) dan di desa Bantik (dahulu Sumoit) di Kecamatan Poigar (Bolaang-Mongondow). Seperti bahasa Ratahan, bahasa Bantik ini kerabat dengan Bahasa Sangi, seperti nyata pada persamaan kata-kata sebagai berikut: bongkow “tumbak”, Sang. bengko; babolow “petang”, Sang. babelo; udung “, “menyelam”, Sang. urung; kayaba’, Sang. Kalabe “mengipas api”; hubu’, “menyalak”, Sang. hebu.

Bahasa Ponosakan dipakai di kota Belang, desa Tababo dan di sebahagian desa Watuliney, di sekolah Tenggara Minahasa.Bahasa ini adalah kerabat dengan Bahasa Bolaang Mongondow. Pemakai bahasa ini adalah satu-satunya sub-etnis di Minahasa yang beragama Islam. Moyang mereka berasal dari bahagian Selatan. Di sini kita berikan perbandingan dengan bahasa Bolaang Mongondow, sebagai berikut giup “meniup”, Bol.Mong. girup; sogot, Bol.Mong. bogot “mengikat menjadi satu”; pinsur, Bol Mong. pintud “tersentuh kaki dan jatuh”; gina Bol.Mong gina, “napas”.

Dalam bahagian ini kita dapat kemukakan disini, bahwa pemakai bahasa-bahasa daerah di Minahasa mulai merosot, terlebih bagi kalangan pemuda. Pada umumnya pemuda memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapannya dengan sesamanya dan biasanya juga orang tua yang mahir berbahasa daerah mempergunakan bahasa Melayu Manado dalam percakapan dengan anak-anaknya. Sewaktu anak mau mulai belajar bicara orang tua biasanya si ibu mengejanya dengan kata-kata bahasa Malayu, ump. mama, papa, mari, jalang, makang, dll kata-kata yang mudah diajar. Kadang sekali seorang ibu membiasakan anak itu mengajar kata-kata yang mudah dalam salah satu bahasa daerah di Minahasa. Caranya seorang ibu mengucapkan kata-kata ini pada seorang anak biasanya manis kedengaran. Saya kira hal ini dapat juga dilakukan dengan kata-kata dalam bahasa daerah.

Jikalau hal ini usaha pemerintah mengajar bahasa daerah di sekolah-sekolah benar-benar dijalankan, maka ada harapan bahwa bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan lagi. Keadaan bahasa daerah di Minahasa dapat dikembangkan lagi. Keadaan bahasa daerah yang sekarang ialah bahwa masih banyak orang tua-tua yang masih menggunakannya akan tetapi anak cucu mereka tidak lagi. Hal ini tampak di kota-kota, seperti Manado, Amurang, Tomohon, Tondano dan lain-lain.

Bahasa daerah di desa-desa masih dipergunakan dalam percakapan hari-hari, baik generasi tua, generasi muda dan baik anak-anak kecil. Hal ini kita lihat umpama di desa-desa sekitar Danau Tondano. Ada tiga desa yang berdekatan di tempat lain, yang merupakan secara fisik suatu gabungan desa, maka dua dari desa-desa itu pemuda dan anak-anak mereka memakai Bahasa Melayu Manado dalam percakapan hari-hari akan tetapi di desa yang ketiga memakai bahasa Tonsea dalam pergaulan orang tua, pemuda sampai anak-anak. Yang kita maksudkan disini adalah desa Talawaan yang masih memakai bahasa daerah dan desa Mapanget dan Kolongan tidak lagi, kecuali orang-orang tua.

Demikianlah situasi bahasa-bahasa di Minahasa pada saat ini, atau dapat dikatakan dimasa lampau dan masa kini. Bahasa daerah di Minahasa dalam perjalanannya dari dahulu hingga sekarang mulai mendapat benturan dengan dibukanya sekolah-sekolah di Minahasa. Istilah-istilah dan kata-kata yang dipelajari di sekolah mulai diadaptasi ke dalam pemakaian bahasa-bahasa daerah Minahasa. Banyak kata-kata baru masuk dalam perbendaharaan bahasa-bahasa daerah. Sejak waktu itu timbullah suatu generasi yang hanya dapat menutur bahasa Melayu, bahasa yang dipelajari di sekolah.

Seperti diketahui sekolah-sekolah rakyat secara meluas didirikan di Minahasa oleh Zending (pekabaran injil). Setelah dibukanya sekolah-sekolah pada tingkat lanjutan pertama yang berbahasa Indonesia pengaruh itu lebih mendalam lagi. Pada waktu-waktu ini timbullah suatu lapisan masyarakat yang sama sekali hanya memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Bergandengan dengan hal ini dipergunakan juga bahasa Melayu Manado, yang mulai dari kota Manado menjalar ke wilayah pedalaman. Pada tahun-tahun sesudah perang dunia kedua keadaan ini lebih melebar lagi oleh karena banyaknya sekolah-sekolah lanjutan yang dibuka. Hampir disemua desa dapat dikatakan telah mempunyai sebuah sekolah dasar/rakyat dan ditambah lagi oleh sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas. Ini semuanya menjadi sarana untuk mendesak pemakaian bahasa-bahasa daerah, sehingga hal ini menjadi parah dalam keadaan bahasa daerah di Minahasa. Di atas saya telah berikan contoh dari pemakaian bahasa daerah di sebuah desa tetapi pada dua desa tetangganya dipergunakan bahasa Melayu.

Dapat kita bayangkan apa yang sedang terjadi sekarang. Bahasa-bahasa daerah sudah mulai menghilang penuturnya. Kalau kita tidak tanggulangi pada saat sekarang ini, maka bahasa-bahasa daerah itu akan lenyap. Ini berarti salah satu unsur kebudayaan Minahasa akan hilang dari muka bumi ini. Bagaimana caranya untuk melestarikannya atau dengan kata lain bagaimana caranya, menahan arus menghilangnya hal ini dari masyarakat Minahasa ?

Dari pelestarian ini kita dapat hambatan yang merintangi cara pelestarian ini yang telah dicoba selama kira-kira empat dasawarsa yang akhir ini.

Empat dasa warsa yang lalu oleh Pemda Minahasa (yang masih berkedudukan di Manado waktu itu) telah diusahakan untuk memberikan pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah dasar. Lalu waktu itu dibuat sayembara untuk mengarang buku-buku pelajaran bahasa daerah. Instruksi dibuat akan tetapi tidak ada kelanjutan atau terdiam begitu saja.

Sekitar sepuluh tahun yang lalu dari pihak Kantor Gubernur dalam hal ini Dinas P dan K tingkat I hendak mencanangkan mulainya pemberian pelajaran bahasa daerah di sekolah-sekolah. Yang akan mencanangkannya adalah wakil-gubernur Drs. A. Mokoginta sendiri. Pada waktu Kakanwil Depdikbud diberitahukan mengenai hal ini, maka cepat-cepat beliau ke Kantor Gubernur menyampaikan berita kalau boleh pencanangan ini ditunda dahulu. Jadi usaha ini macet lagi. Hal ini katanya harus tunggu instruksi dari Jakarta dahulu. Usaha ini macet lagi.

Saya pernah tanyakan pada Bapak Roesmali (waktu itu Kakanwil Depdikbud Sulut) almarhum mengenai pemberian pelajaran bahasa daerah ini.

Beliau menjawab bahwa bahasa-bahasa daerah Minahasa mempunyai wilayah kecil dan penuturnya juga berjumlah kecil. Berapa jenis baku saja yang akan dipergunakan, jadi maksudnya biayanya terlalu tinggi. [besambung ke bagian 3]

Bahasa-Bahasa di Minahasa [1]

Oleh F.S. Watuseke
  

Di Minahasa terdapat delapan jenis bahasa daerah yang masing-masing mempunyai penutur bahasa di wilayah-wilayah tertentu. Kecuali bahasa-bahasa daerah ini terdapat juga bahasa-bahasa daerah lain yang dipakai oleh orang-orang pendatang yang berasal paling utama dari daerah-daerah tetangga, seperti Bahasa Sangi, Bahasa Talaud, Bahasa Bolaang Mongondow, Bahasa Gorontalo dan lain-lain.

Bahasa resmi yang dipergunakan di kantor-kantor, sekolah-sekolah, gereja-gereja dan lain-lain pertemuan adalah Bahasa Indonesia. Di samping itu terdapat lagi bahasa Melayu, Minahasa atau juga disebut Melayu-Manado. Bahasa ini merupakan bahasa pengantar antar sub-etnis di Minahasa. Bahasa ini hanya merupakan bahasa percakapan, lisan dan bukan merupakan bahasa tulisan. Bahasa ini pada mulanya hanya dipakai oleh orang-orang Borgo yang menempati beberapa desa di pantai Minahasa seperti Manado, Kema, Tanawangko, Amurang, Likupang dan Belang. Bahasa ini agaknya dibawa oleh orang-orang Borgo dari Maluku-Utara dalam hal ini Ternate, bahasa yang dikenal dengan nama Bahasa Melayu-Maluku. Hal ini jelas nyata sekali pada perbendaharaan kata-katanya yang mengandung banyak kata-kata Ternate. Bahasa Melayu yang dipergunakan di sekolah-sekolah pada abad yang lalu dan kemudian juga dalam surat kabar Tjahaja Siang yang terbit pada abad yang sama adalah Bahasa Melayu, bahasa yang dipergunakan oleh pekabar-pekabar Injil Protestan di Minahasa, Bahasa Melayu Minahasa ini tidaklah sama dengan bahasa Melayu Minahasa atau bahasa Melayu Manado yang merupakan bahasa lisan atau percakapan oleh orang-orang Borgo yang kita sebut di atas.

Bahasa Melayu lisan ini kemudian menjadi Bahasa Pengantar di Manado dan lama-kelamaan orang kota Manado meninggalkan bahasa daerahnya dalam hal ini Bahasa Tombulu’. Dari kota Manado-lah Bahasa Melayu Manado ini mulai menyebar ke daerah Minahasa, dan juga menyebar ke ibukota-ibukota daerah-daerah di Sulawesi Utara, melalui pedagang-pedagang, orang-orang bersekolah, pegawai-pegawai baikpun negeri atau pun swasta dari atau ke Manado ke kota-kota lainnya di luar Minahasa di Sulawesi Utara Tengah. Dengan demikian Bahasa ini merupakan bahasa penghubung antar suku di Sulawesi Utara Tengah. Olehnya juga kita lebih cocok menamainya bahasa Melayu-Manado daripada bahasa Melayu Minahasa.

Dalam Bahasa Melayu-Manado terdapat kata-kata asal bahasa Portugis seperti lenso, “saputangan”, forsa, “tegap, kuat”, flesko “botol persegi”, asal bahasa Spanyol sombar “bayang”, tripang “usus”, fastiu, “bosan”, asal bahasa Belanda floit, “siul, suling” Mandak, “Senin”, taflak, “kain alas meja”, flao “pingsan” dan dari bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Minahasa “kawanua” orang sekampung”, kalakeran “milik banyak orang” komunal, tinu’tu’an “bubur Manado”  dan asal bahasa Ternate dodoku “jembatan”, ciri “jatuh” okodabu” dan lain sebagainya. Bahasa-bahasa Minahasa adalah bahasa-bahasa daerah yang asli yang terdapat di Minahasa, yang terdiri dari Bahasa Tondano, Bahasa Tonsea, Bahasa Tombulu’, Bahasa Tontemboan dan Bahasa Tonsawang.

Selanjutnya terdapat Bahasa Bantik, Bahasa Ratahan, dan Bahasa Ponosakan. Bahasa Tondano, Bahasa Tombulu’ dan Bahasa Tonsea’ disebut orang juga bahasa-bahasa Minahasa Utara dan menurut penelitian termasuk bahasa-bahasa yang sangat kerabat satu dengan yang lain. Bahasa Tontemboan dan Bahasa Tonsawang disebut Bahasa-Bahasa Minahasa Selatan. Kedua bahasa ini masih juga kerabat dengan ketiga bahasa tersebut tadi akan tetapi agak lebih jauh jaraknya, sama saja dengan jarak antara Bahasa Tontemboan dan Bahasa Tonsawang. Hal ini lebih jelas kita lihat dalam diagram seperti berikut :


Bahasa Bantik dan Bahasa Ratahan menaruh persamaan dengan Bahasa Sangi sehingga kedua bahasa itu dikelompokkan pada bahasa Sangi. Bahasa Ponosakan menaruh persamaan dengan Bahasa Bolaang Mongondow sehingga bahasa itu dikelompokkan pada bahasa Bolaang Mongondow. Akan tetapi semua bahasa-bahasa yang disebutkan tadi dikelompokkan pada keluarga-bahasa Filipina.

Bahasa Tondano dipergunakan orang di wilayah keliling Danau Tondano di bahagian Barat, bahagian Selatan dan bahagian Timur sampai di pantai Timur. Bahasa Tondano terdiri atas tiga dialek, yaitu dialek induk Tondano, dialek Kakas dan dialek Rombokan.

Dialek yang terbesar dalam wilayah dan jumlah penutur terdapat dibahagian Utara, yakni di kota Tondano dan sekitarnya atau dengan pendek disebut kecamatan Tondano, selanjutnya di kecamatan-kecamatan Eris dan Kombi.

Kemudian terdapat dialek Kakas yang penuturnya merupakan penduduk kecamatan Kakas dan dialek Rembokan yang penuturnya merupakan penduduk kecamatan Rembokan.

Selanjutnya penutur bahasa Tondano dengan dialek-dialeknya terdapat di Minahasa Selatan di kecamatan-kecamatan Tompaso’-Baru dan Modoinding, yakni penutur dialek induk Tondano terdapat di desa-desa sebagai berikut : Pinaesaan, Kinalawiran, Kinaweruan, Liningaan, Bojonegoro, dan Dialek Kakas di desa Temboan atau Polimaan dan dialek Remboken di desa Kinamang. Kesemuanya terletak dii kecamatan Tompaso-Baru. Di Kecamatan Modoinding terdapat penutur dialek Kakas di desa-desa Wulur-maatus Palolon, Makaaroyan, Pinasungkulan, Lineleyan dan penutur dialek Remboken di desa Sinisir dan Kakenturan dan penutur dialek induk Tondano di desa Mokobang.

Dialek induk Tondano “raa”, dialek Kakas “daha” dan dialek Remboken “ndaha” ‘darah’; Tondano “talinga”, Kakas lunteng dan Remboken lunteng “telinga”. Jikalau Tondano dan Remboken memakai sisipan -in-, maka Kakas memakai awalan ni-, dalam arti telah selesai melakukan, perfektum.

Bahasa Tonsea’ dipergunakan orang dibahagian Timur Laut Minahasa, dan wilayahnya merupakan wilayah yang agak luas, kecuali di pulau-pulau di sebelah Utara dan Timurnya, yaitu di pulau-pulau Bangka, Talisei dan Lembeh.

Pada tahun-tahun dua puluhan dari abad ini orang-orang dari Tondano dan sekitarnya datang membuka perkebunan di sebelah Utara dan Timur G. Dua Sudara dan G. Kalabat, dalam hal ini di sekitar desa sekarang Danowudu’ dan Duasudara.

Bahasa Tonsea terdiri atas dua dialek, yaitu dialek-induk Tonsea’, yang dipergunakan di sekitar Ibukota Airmadidi, Tatelu dan Minaweret dan dialek Kalabat-Atas yang dipergunakan di sekitar Maumbi dan Likupang.

Dalam dialek-induk Tonsea terdapat kata wedwed “dada” dan dalam dialek Kalabat-Atas werwer. Tonsea dani’na “daun”, Kalabat-Atas rari’na. Tonsea dida’ “lidah”, Kalabat-Atas lida’, Tonsea’ doud “Air”, Kalabat-Atas dour dan Tonsea’ kudo’ “putih”, Kalabat-Atas puti, Tondano “kulo”.
Bahasa Tombulu’ dipergunakan di Minahasa bahagian Barat-Laut sampai di pantai Barat bahagian Utara Minahasa. Bahasa ini berpusat di Tomohon, Sarongsong, Kakaskasen, Tanawangko’ sampai sebenarnya di inti Kota Manado, akan tetapi di kota Manado penutur telah beralih menggunakan bahasa Melayu-Manado tahun-tahun tiga puluhan dari abad ini, sekitar 90 tahun lalu.

Bahasa ini yang  merupakan bahasa pertama yang dikenal oleh para pendatang, orang Barat, oleh karena bahasa ini dipergunakan di kota Manado sejak semula. Istilah-istilah dalam pemerintahan Minahasa, dalam peradilan, hukum, agama alifuru dan lain-lain semua berasal dari bahasa ini, seperti mapalus, kawanua, kalakeran, waruga, walak, empung, pasini, posan, walian,individual, pemuka agama Alifuru, pemimpin agama di kebun, tonaas dan lain-lain yang berarti gotong-royong, teman sedesa, komunal, peti kubur batu, distrik, Allah, keramat berasal dari bahasa Tombulu’ demikian juga dengan istilah kesenian seperti maengket, marambak dan lain-lain. Dalam Bahasa Tombulu terdapat dua dialek besar yakni yang memakai awalan “ni” dan memakai sisipan “ni” dalam arti perfektum.

Yang pertama terdiri dari dialek-dialek Tomohon Sarongsong, Tombariri dan yang kedua terdiri dari dialek-dialek Kakaskasen, Kalabat Bawah (Paniki Atas dan Paniki Bawah) dan Aros (Kamangta, Sawangan).  [besambung ke bagian 2]