Friday, March 18, 2011

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [2]


Oleh Yuda B. Tangkilisan

Beberapa koreksi kecil terhadap teks harus diberikan, karena terdapat kesalahan. Dalam petisi itu disebutkan bahwa besluit Residen Swaving bertahun 1876 padahal yang benar adalah tertanggal 25 Januari 1877 no. 1 La A.[8] Kemudian besluit tanggal 12 Juni 1868 no. 30 sebagai dasar kewibawaan para kepala sebenarnya yang dimaksudkan adalah besluit 12 Juni 1858 no. 30 (Staatsblad 1856 no. 69).[9]

Mengenai jumlah kepala distrik yang ikut menandatangani terdapat beberapa dugaan (karena sumber aslinya tidak ada). L. Adam dalam tulisannya Pemerintahan di Minahasa[10] menyebutkan bahwa jumlah kepala distrik yang mengirimkan petisi itu sebanyak 23 orang. Sedangkan kalau diteliti kembali dalam Regeerings Almanac, terutama tahun 1878 sebab tahun sebelumnya tidak menyebutkan tentang kepala distrik, bahwa jumlah kepala distrik sebanyak 25 sesuai dengan jumlah distriknya (Lihat Lampiran).

Selain dicoba dibandingkan dengan Politiek Verslag (yang tidak ditemukan) juga dicoba dengan Algeemen Verslag tahun tersebut. Algemeen Verslag tidak menyebut jumlah, hanya disebutkan mutasi dan pengangkatan kepala distrik dan bawahannya. Pembandingan terakhir dicoba dengan meneliti surat kabar yang terbit di Minahasa Tjahaja Sijang selama tahun 1876-1877. Selain koran itu tidak memuat sama sekali, juga tidak ada tanda-tanda bahwa jabatan kepala di suatu distrik kosong atau adanya kepala distrik meninggal dunia, yang mana dapat menuju pada kemungkinan jumlah 23, seperti disebutkan L. Adam.

2. Sekutu Atau Kaula
Dua hal pokok yang tidak dapat dimengerti oleh para kepala distrik tersebut. Kedua hal itu saling berhubungan satu sama lain. Dengan pernyataan bahwa tanah Minahasa menjaadi tanah milik pemerintah, maka menurut anggapan mereka bahwa kontrak-kontrak yang pernah dikukuhkan telah tidak berlaku lagi.

Padahal kontrak-kontrak tersebut justru yang mengatur hubungan antara Minahasa dan Belanda. Kontrak itu dibuat oleh nenek moyang mereka masing-masing. Sebagai komunitas yang menjunjung tinggi tradisi dan menghormati leluhur (walaupun di tengah gencarnya Kristenisasi), kontrak tersebut dianggap tetap berlaku dan mengikat. Dengan sendirinya jika terjadi perubahan atas hubungan-hubungan yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, harus sepengetahuan kedua belah pihak. Bagi kepala Minahasa pembatalan sepihak berarti penodaan terhadap kesetian.

Kini tentunya perlu dipertanyakan mengenai kontrak itu sendiri. Beberapa pertanyaan dapat diajukan padanya. Seperti apakah kontrak itu (terutama dimaksudkan adalah kontrak 1679) absah. Ini merupakan pertanyaan penting yang dijawab terlebih dahulu.

Sikap terhadap keabsahan kontrak tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang menganggap kontrak itu sah dan menempatkan kedua belah pihak penanda tangan  kontrak itu sebagai tuan dan kaula. Kontrak yang terdapat pada catatan harian perjalanan keliling dari Padtbrugge itu dianggap salinan yang syah dari salinya. Memang dokumen asli dari kontrak itu tidak ditemukan kembali. Kelompok itu antara Graafland, Swaving dan Molsbergen sendiri.

Kelompok lainnya menolak keabsahan kontrak catatan Padtbrugge itu. Menurut mereka, tidak mungkin hubungan yang terjalin itu sebagai hubungan kaula. Mereka yakin bahwa kontrak asli 1679 mengatur hubungan sekutu atau persahabatan. Salah satu argumentasi mereka yang penting adalah jika kontrak itu telah mengatur hubungan kaula, mengapa pada tahun 1699 kontrak itu diperbaharui dengan menyebutkan hubungan kaula. Tentunya status kaula pada kontrak 1699 menggantikan status sekutu pada Kontrak 1679 tidak diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Memang peranan juru bahasa perlu diteliti kembali. Kelompok ini antara lain Kesteren, Wijnmalen, dan tentunya orang Minahasa sendiri.[11]

Bert Supit juga mencoba menelusuri mengenai alam pikiran kepala-kepala Minahasa dalam menerima Belanda. Menurut pendapatnya, Kontrak 1879 hanya memuat dua hal pokok, yaitu (1) permintaan bantuan kepada Kompeni, yang diakui sebagai orang kuat dan berwibawa (wailan wangko) untuk menghadapi musuh dari luar, antara lain Bolaang, (2) janji setia kawan dan persahabatan yang abadi para ukung, yang karenanya akan membantu Kompeni memelihara benteng dan bangunan lain, bila Kompeni berjanji memenuhi hal tersebut diatas sesuai prinsip mapalus. Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian wailan wangko tidak berimplikasi memerintah, melainkan hanya merupakan suatu julukan saja.[12]

Gambaran yang ada dalam benak kepala-kepala distrik mengenai hubungan mereka dengan Belanda adalah sebagaimana layaknya sahabat. Paling tidak dalam ingatan mereka bahawa peristiwa-peristiwa yang mereka alami sebelumnya memperkuat hubungan tersebut. Seperti misalnya yang sangat jelas adalah pemberian tongkat, payung serta 9 salvo tembakan sebagai tanda penghormatan untuk mereka.         

Selanjutnya mengenai hubungan Minahasa dan Belanda disebut sebagai hubungan antara orang tua dan anak. Dimana Minahasa sebagai anak dan Belanda sebagai orang tua. Dalam adat istiadat Minahasa memang dikenal masalah adopsi dengan berbagai macam tujuan danlatar belakangnya. Namun jika ditelusuri dari sejarah datangnya Belanda di Minahasa dan pola adopsi di Minahasa akan terasa kurang klop. Belanda datang di Minahasa karena diminta oleh orang Minahasa sendiri.

L. Adam dalam bukunya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa menyebutnya suatu pola adopsi yang agak aneh namun sesuai dengan proses tersebut di atas.[13] Disebutkan bahwa terdapatnya gejala adopsi terbalik, dimana seseorang atau keluarga mengangkat seorang kepala distrik atau lainnya (bawahannya) sebagai bapak, dan menempatkan dirinya sendiri sebagai anak. Adopsi semacam ini menguntungkan kedua belah pihak. Sang “anak” akan memperoleh perlindungan dan jaminan keterpihakan sang “bapak” dalam perselisihan-perselisihan, terutama yang menyangkut soal tanah. Sebaliknya para kepala biasanya membiarkan dirinya diadopsi dengan maksud kelak akan mendapat bagian dalam pewarisan sang “anak”.

Minahasa sebagai masyarakat yang tidak mengenal bentuk kerajaan namun sebagai masyarakat primitif tidak mengenal hubungan majikan dan hamba. Mereka yang hanya mengakui primus inter pares beranggapan bahwa jika ada kewajiban yang harus dipenuhi, kesemua itu berdasarkan pada hubungan timbal balik. Hubungan  yang ada adalah antara pelindung dan yang dilindungi. Sistem kekeluargaan yang sangat erat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan politik setiap kesatuan (wanua dan walak). Memang selain keluarga dikenal juga adanya budak-budak melalui perang dan penaklukkan-penaklukkan.

Alam pemikiran kepala distrik kebanyakan masih kuat dipengaruhi tradisi demikian.[14] Seyogyanya jika mereka mempertanyakan kembali hubungan tersebut. Dan wajar juga jika dalam surat tersebut digunakan kata-kata yang meninggikan kedudukan Belanda. Yang paling jelas adalah bahwa penetrasi pendidikan Belanda sedemikian mendalam di Minahasa, tetapi dalam pemikiran Belanda bahwa mereka tetaplah bawahan, bumiputra yang sebelumnya tidak berperadaban[15] yang harus senantiasa dibimbing dan perlu dibudayakan.[16]

Surat itu juga menyingkapkan akan usaha Belanda untuk “mengikat” para kepala Minahasa (paling tidak demikian menurut anggapan mereka) dengan pemberian gaji. Para kepala tersebut memaklumi bahwa jika mereka menerima gaji dari pemerintah maka resmilah Minahasa merupakan bagian dari Hindia Belanda. Selanjutnya surat itu menyatakan bahwa mereka menolak tawaran Belanda tersebut. Mereka memilih tetap berdiri di atas pundak rakyatnya (menurut istilah mereka diasuh rakyatnya). Keindependenan merupakan alasan yang kuat bagi status sekutu.

Kemudian surat itu bercerita mengenai apa yang sebenarnya sedang berlangsung di Minahasa selama hampir 200 tahun sejak kontrak pertama ditandatangani. Motivasi Minahasa untuk selalu berdiri di pihak Belanda (sehingga terkadang Minahasa disebut berdiri di pihak Belanda, bahkan disebut sebagai propinsi ke-12 dari Belanda, karena begitu setianya) adalah berdasarkan rasa terima kasih danbalas budi, kembali sesuai dengan kontrak. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa Belanda memperoleh tanah Minahasa bukan melalui penaklukan melainkan semata persahabatan.

Pada bagian akhir isi surat mereka mengajukan beberapa permohonan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dua permintaan pokok itu adalah pertama memohon pembaharuan kontrak atau tetap dengan kontrak yang lama namun dengan beberapa persyaratan tambahan. Rupa-rupanya para kepala distrik tetap menganggap bahwa kontrak merupakan dasar keberadaan Belanda di Minahasa.

Mereka tetap konsisten dengan permintaan bahwa Minahasa bukan tanah pemerintah. Beberapa pengecualian yang diminta seperti larangan penjualan tanah kepada orang non-bumiputra dan ijin untuk penyewaan  tanah kepada orang lain.

Tanah merupakan sumber penghasilan dan penghidupan bagi masyarakat agraris. Tanah juga memiliki nilai tersendiri dalam tata kehidupan, menunjukkan kekayaan/prestise, juga melambangkan keterikatan masyarakat terhadap leluhurnya dimana tanah itu dibuka oleh leluhurnya (bandingkan dengan pola pembukaan tanah yang bebas).[17]

Tak mengherankan jika mereka berpendapat bahwa tanah tidak boleh dijual kepada orang lain di luar distriknya apalagi kepada orang “seberang”, tetapi kesempatan lain terbuka untuk mereka (orang asing) yaitu melalui bentuk penyewaan, terutama tanah-tanah yang tidak sanggup digarap. (Padahal salah satu alasan penerapan peraturan tanah itu adalah karena banyaknya tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya).[18]

Para kepala distrik dalam surat itu beberapa kali menyebut “rakyat kami”. Padahal seperti telah disebutkan bahwa telah terjadi pergeseran terhadap kedudukan mereka dimana mereka boleh dikatakan telah menjadi alat pemerintahan kolonial, dipihak lain artinya mereka telah tercabut dari akarnya sebagai kepala tradisional. Penjelasannya mungkin bisa didapat dalam alam pemikiran mereka bahwa selama mereka masih dihidupi oleh rakyatnya, tidak menerima gaji dari pemerintah maka mereka tetap sebagai volkshoofd.

Permohonan ditutup dengan pertaruhan kesetiaan mereka kepada Belanda dan himbauan kembali agar Belanda sendiri ingat pada kewajibannya. (Bersambung ke bagian 3)

Petisi 31 Maret 1877 di Minahasa: Kaula atau Seteru [1]

Oleh Yuda B. Tangkilisan
                RINGKASAN
            Pada tanggal 31 Maret 1877 sebuah petisi dilayangkan kepada Gubernur Jendral Hindia belanda di Batavia. Petisi itu dikirimkan oleh para pemimpin Minahasa. Pada dasarnya, petisi itu mengajukan keberatan terhadap besluit Residen Manado tanggal 25 Januari 1876 no 1 Lh A. Sebenarnya besluit itu mengatur peraturan tanah negara yakni ordonansi 1875 (Staatsblad 1875 no. 199a) Para pemimpin Minahasa memprotes pernyataan bahwa Minahasa nerupakan tanah milik negara (Hindia Belanda), seperti bunyi salah satu butir ordonansi itu.
            Dalam petisi itu dinyatakan bahwa hubungan Minahasa dan Belanda sejak pihak yang terakhir datang di daerah Sulawesi bagian utara diatur dengan perjanjian atau kontrak. Dasar hubungan itu bukan sebagai daerah taklukan dengan penakluknya, melainkan berlandaskan bentuk persekutuan. Atas pertimbangan hubungan sekutu itu, menurut para pemimpin Minahasa, seyogyanya ordonansi tu dipertimbangkan kembali.
            Padahal sejak menerima kembali daerah Minahasa dari tangan Inggris awal abad 19, Belanda memperlakukan Minahasa sebagai wilayah yang diperintah langsung (direct gebied). Dengan sendirinya, kebijaksanaan politik Belanda di Minahasa berlandaskan dasar pemikiran tersebut di atas.
            Situasi yang berubah itu, tidak segera disadari oleh para pemimpin Minahasa, Dengan diterbitkannya ordonansi 1875 itu, kurang lebih setengah abad telah berlangsungnya perubahan politik, barulah mereka mahfum, dan untuk itu mereka memprotes.

1. Petisi 31 Maret 1877

Pada tanggal 21 Januari 1876 Residen Menado J.C. van Musschenbroek digantikan oleh A.H. Swaving. Swaving dalam tugasnya dibantu oleh beberapa kepala bawahan seperti. W.H. Stalle sebagai kontroler kelas 1 dan G. Schaap sebagai kontroleur kelas 2 dari Afdeeling Menado, E.J. Jellesma sebagai kontroleur kelas 1 dari Afdeeling Amurang, H.R. Rookmaker sebagai kontroleur kelas 2 Afdeeling Kema dan C. W. Palm sebagai kontroleur kelas 1 untuk Afdeeling Belang.[1]


 Masa tugas Swaving sebagai residen di Minahasa mulai tahun 1876 hingga 1879. Selama kira-kira 4 tahun itu ia menjalankan beberapa program. Program itu antara lain adalah penghapusan kontribusi, pengaturan kerja rodi, pemberian gaji kepada kepala-kepala distrik, dan pengaturan masalah tanah di Minahasa.[2]

Kontribusi adalah pembayaran (berupa uang) oleh seseorang yang dimaksudkan sebagai pengganti kewajiban kerja rodi. Swaving mencoba menertibkan dan menghapuskannya.

Swaving juga mencoba menertibkan pelaksanaan kerja rodi. Jumlah hari kerja rodi yang sebelumnya tidak menentu ditetapkan menjadi 25 hari dalam setahun. Namun jumlah tersebut belum termasuk kerja wajib untuk wanua dan kepentingan masyarakat. Mengenai hal itu, pengaturannya diserahkan kepada pemimpin-pemimpin setempat.

Mengenai usaha memberikan gaji kepada para kepala distrik, Swaving telah berusaha 2 kali untuk mengumpulkan para kepala distrik. Dalam pertemuan-pertemuan itu dibicarakan masalah pemberian gaji kepada para kepala distrik. Rupa-rupanya pertemuan itu tidak menghasilkan keputusan atau kesepakatan mengenai pemberian gaji secara tetap itu. Para pemimpin Minahasa tidak sepakat dengan usulan Swaving.[3]

Suatu kejutan bagi para pemimpin Minahasa adalah besluit tanggal 25 Januari 1877 No. 1 L a A, yang mengatur mengenai pemilikan tanah negara untuk Minahasa berdasarkan Ordonansi tahun 1875 (Staatsblad 1875 no. 179 dan 199a).[4] Dalam Staatsblad tersebut dinyatakan bahwa tanah di wilayah luar Jawa (Outer Province) adalah tanah milik kerajaan/gubernemen. Besluit itu menyatakan bahwa semua tanah harus didaftarakan, orang non-bumiputra tidak boleh membelinya.[5]

Ternyata besluit itu mendapat reaksi dari kalangan setempat. Suatu pertemuan yang dihadiri oleh para kepala distrik, zendeling  (penginjil/ pendeta), dan beberapa orang swasta/partikelir (particulieren) menghasilkan suatu petisi.[6]

Petisi yang ditujukan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda itu berbunyi sebagai berikut:[7]

Kepada Yang Dipertuan Agung
Gubernur Jenderal Hindia Belanda
di Batavia

Dengan segala hormat dan kerendahan hati kami Kepala-kepala dari Minahasa datang menghadap Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan menyampaikan dengan segala kesadaran akan keberatan kami: Bahwa Yang Dipertuan Residen Menado memberitahukan kami, bahwa; I. Semua kontrak kami atau kontrak-kontrak yang ditutup oleh nenek moyang kami dengan Pemerintah Belanda, oleh Gubernur itu dihapuskan dengan alasan-alasan tersebut, II. Tanah kami Minahasa, menurut Staatsblad 1875 no. 199a seperti juga disebut dalam keputusan dari Yang Dipertuan Residen Menado tanggal 25 Januari 1876 no. 1 Lh A sekarang sudah menjadi tanah pemerintah.

Bahwa kami dengan dua hal tersebut merasa keberatan sekali dan sangat bersusah hati, karena Pemerintah melakukan hal itu tanpa ada pemberitahuan lebih dahulu kepada kami; Kami pikir, bagaimana adilnya pemerintah terhadap nenek moyang kami, demikian juga adilnya pemerintah terhadap kami, -bahwa tidak ada perlakuan di Minahasa tanpa terlebih dahulu ada pembicaran dengan kami dan memperoleh persetujuan kami dalam hal tersebut.

Kami pikir, bahwa isi naskah yang diberikan oleh Residen C. Bosscher kepada masing-masing kami dengan surat dinas yang Dipertuan Pemerintah tertanggal 16 Juni 1860 no. 730 sebagai hadiah untuk disimpan sebagai pusaka keramat bagi anak cucu dan keturunan kami, adalah pidato dari Yang Dipertuan kami dan disayangi Residen A.J. Jansen (pada kesempatan pembagian payung di Tondano yang ditetapkan dengan keputusan pemerintah tanggal 12 Juni 1868 no. 30, sebagai pertanda distinktif kewibawaan kami yang diberikan kepada kami, kepala-kepala dari Minahasa seperti pernyataan puas pemerintah), meliputi antara lain bahwa nenek moyang kami menerima pemerintah Hindia Belanda sebagai pelindung, ya sebagai orang tua kami dan penduduk Minahasa sebagai anak, dsb., untuk mengingatkan kami akn kontrak nenek moyang kami, atau menjangkau bukti bahwa dengan hal ini kontrak sama dengan diperbaharui.

Kami pikir, bahwa bagaimana keabsahan 9 tembakan kehormatan yang kami terima pada pertemuan yang diadakan menurut Staasblad 1859 no.104a (tembakan kehormatan mana juga diberikan anggota sahabat pemerintah) belum lenyap, demikian juga dengan kontrak-kontrak nenek moyang kami yang diadakan dengan pemerintah yang masih akan ditiadakan.

Kami pikir, bahwa selama kami tetap setia kepada pemerintah Belanda dan tidak menerima gaji (pemberian gaji yang dibicarakan dengan kami oleh residen Menado yang sekarang dalam pertemuan yang diadakan pada tanggal 1, 2 dan 3 September 1876, dan dengan hal mana banyak dari kami menolaknya, karena kami mengharapkan lebih baik diasuh oleh rakyat kami sendiri), kontrak-kontrak nenek moyang kami tidak dapat dilenyapkan; Ja, kami mengetahui juga, bahwa nenek moyang kami dulu tidak memperbaharui kontrak-kontrak tersebut tiap tahun, tetapi setelah beberapa tahun berselang; dan oleh karena itu kami tidak meragukan adanya hal demikian, sebab itu kami belum memintakan pembaharuan apalagi kami berkeyakinan bhwa hal itu tidka dapat tidak akan dilenyapkan begitu saja tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari kedua belah pihak.

Hingga kini – menurut kontrak-kontrak – sudah berlalu 200 tahun, waktu nenek moyang kami untuk pertama kali memohon bantuan dari penguasa Belanda;
Mereka memohon bantuan itu, karena mereka perlu melawan musuh mereka, juga karena perselisihan antara sesama mereka dalam lingkungan; dengan demikian mereka menerima pemerintah Belanda juga sebagai orang tua.
Pemerintah Belanda memberikan bantuan itu; musuh-musuh kami terhalau; Pemerintah menerima juga penduduk negeri ini sebagai orang tua.
Karena itu kami dan nenek moyang kami menyatakan rasa terima kasih kami dengan tetap menurut dan setia kepada Pemerintah.
Dengan alasan-alasan itu bendera Belanda berkibar disini selama 200 tahun, bagi kehormatan Belanda dan Minahasa.
Ya kami mengakui sungguh-sungguh, bahwa pemerintah Belanada banyak berbuat untuk kebaikan kami dan mengangkat rakyat kami; tetapi kami dan rakyat kami juga banyak membantu pemerintah dan memberikan banyak keuntungan;
Atas dasar apa atau dengan alasan apa, atau apa yang kami dna rakyat telah lakukan, hingga pemerintah Belanada memutuskan -- (tanpa menanyakan kepada kami dan mendengarkan kami) -- menghapus kontrak-kontrak nenek moyang kami dan amenyatakan tanah Minahasa sekarang tanah pemerintah ?
Kami mengetahui benar bahwa pemerintah Belanda memperoleh tanah kami atau memiliki  tanah bukan dengan cara lain dari persahabatan.
Ah! apa yang akan dikatakan Raja dan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow dan kerajaan lain yang berbatasan dengan Minahasa yang dulu adalah musuh kami; mereka yang tidak begitu setia melayani pemerintah, tidak begitu besar membantu dan tidak begitu banyak memberikan keuntungan seperti kami; mereka yang menjual kopi mereka kepada swasta dengan harga tinggi; mereka tidak diberatkan oleh pemerintah, tetapi . . . kami yang selalu setia dan menurut dan menjual kopi kami kepada pemerintah dengan harga murah; yang banyak membantu dan memberikan keuntungan banyak pada pemerintah, kontrak-kontrak kami atau nenek moyang kami dihapus oleh pemerintah dan tanah kami diambil oleh pemerintah.
Benar-benar kami merasa malu dengan hal itu, berduka cita sekali sangat menyayat hati, tetapi. . . dengan demikian kami tidak kehilangan keberanian.

Demi pertimbangan yang maju dan andil dari Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah di Batavia dalam nama Yang Mulia dan Setia Raja kami, ya seperti orang tua kami, kami seperti anak Yang Dipertuan Agung, menyerahkan dengan segala kerendahan keberatan dan kesusahan kami, dengan permohonan akan perlindungan Yang Dipertuan Agung dan bantuan yang adil dalam persoalan ini, yakni:

I.       Kami, kepala-kepala Minahasa memohon dengan kerendahan akan pembaharuan kontrak-kontrak kami atau kerelaan membuat kontrak baru dengan kami;
II.          atau membiarkan demikian tanpa ada penghapusan, agar
III.       tanah Minahasa tidak menjadi tanah pemerintah, tetapi tetap tanah rakyat seperti dulu, kecuali hak-hak dan penggunaan tanah kami menurut adat, seperti yang juga terdapat dalam kontrak-kontrak nenek moyang kami dan di dalamnya dibuat beberapa perubahan, dengan
IV.       tidak mengijinkan kami dan rakyat kami menjual tanah pasini kami yang menjadi milik kami menurut adat kepada orang yang bukan penduduk Minahasa sebenarnya, tetapi bahwa kami mempunyai kebebasan untuk menyewakan tanah pasini kami yang tidak dipergunakan, karena kekurangan tenaga untuk mengolahnya, kepada mereka (warga pemerintah Belanda).

Dengan alasan-alasan itu kami menghimbau Yang Dipertuan Agung Gubernur Jenderal Hidia Belanda, untuk melindungi kami dan rakyat kami dan membantu kami keluar dari kesusahan, agar kami dengan demikian disandarkan, untuk seperti dahulu nenek moyang kami, terhadap pemerintah tetap setia dan menurut dan melakukan pekerjaan yang diberikan kepada kami dengan rajin dan memenuhi kewajiban-kewajiban kami dengan semestinya seperti kepala yang setia dan bawahan yang patuh.

              Demikianlah dengan segala kerendahan hati
              (Menurut tanda tangan semua kepala-kepala Minahasa)

(Bersambung ke bagian 2)